Supir Tangki CPO Aceh Minta Perlindungan dari Mafia Jalanan, Nasir Djamil Desak Polisi Bertindak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Anggota DPR RI periode 2024-2029 asal Aceh, Nasir Djamil. Dokumen untuk dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekerasan dan ancaman kembali menghantui para supir tangki pengangkut CPO (Crude Palm Oil) asal Aceh.
Saat mengantarkan muatan menuju Kota Medan, para mafia CPO menghadang dan memaksa mereka menurunkan sebagian isi tangki secara ilegal.
Kejadian ini berlangsung di wilayah Halaban, Kabupaten Langkat, tepatnya sekitar pukul 02.00 dini hari.
Para supir mengaku, praktik ilegal ini telah lama terjadi dan berulang di sepanjang jalur lintas Sumatera.
Para pelaku mafia CPO tak hanya memaksa supir menurunkan sebagian muatan, tetapi juga mengancam keselamatan mereka.
Beberapa supir menceritakan bahwa mereka terancam akan mengalami kerusakan kendaraan hingga ancaman fisik bila berani melawan atau tidak menuruti perintah para mafia.
Sejumlah supir juga melaporkan kejadian ini ke Polres Langkat, namun sayangnya, tindakan yang mereka harapkan belum kunjung terjadi.
“Kami sangat resah, ancaman itu terus ada setiap kali kami melintasi kawasan ini, kami pernah melapor ke polisi setempat, tapi kami masih merasa tidak aman karena mafia masih bebas beraksi," ujar salah satu supir yang mengalami langsung kejadian tersebut.
Dalam upaya mencari keadilan dan perlindungan, sejumlah supir tangki asal Aceh ini mendatangi Polda Sumatera Utara.
Mereka berharap agar aparat penegak hukum segera bertindak tegas terhadap para mafia yang telah menciptakan rasa takut dan mengancam kenyamanan di jalan lintas Sumatera.
Kepada Kapolda Sumut, para supir meminta perlindungan hukum dan penindakan konkret terhadap mafia yang beroperasi secara terang-terangan.
Anggota DPR RI periode 2024-2029 asal Aceh, Nasir Djamil, turut menanggapi kejadian ini. Sebagai Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi III DPR RI, ia menjelaskan bahwa kasus "kencing CPO" atau pengurangan isi tangki secara ilegal ini sudah berlangsung lama, bahkan sejak tahun 2000-an.
Nasir Djamil menyebut bahwa praktik ini melibatkan jaringan terorganisir, bahkan diduga dibekingi oknum berseragam yang seharusnya bertugas menjaga keamanan.
“Tanpa adanya keterlibatan oknum berseragam, praktik ini tidak mungkin bisa terus terjadi. Para pelaku di lapangan seolah bebas beraksi karena ada pelindung yang mempermudah aksi mereka,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu, 27 Oktober 2024.
Ia menjelaskan modus operandi jaringan ini. Biasanya supir ditahan di tengah jalan saat malam, sekitar jam 1 atau 2 dini hari.
Truk tangki yang berat membuat mereka sulit bergerak cepat, sehingga saat berhenti, mereka dipaksa untuk menurunkan muatan ke tangki pengumpul yang telah disiapkan di lokasi tertentu.
Para supir tangki sering kali menjadi korban utama dalam kasus ini. Ketika mereka tiba di tempat tujuan dengan muatan yang berkurang, perusahaan pemilik barang, baik BUMN atau swasta, justru meminta pertanggungjawaban dari perusahaan pengangkut dan ujung-ujungnya, supir yang harus menanggung kerugian.
"Inilah yang membuat para supir akhirnya mendatangi Polda Sumut, karena mereka tahu pelindung mafia ini bukanlah polisi,” tambah Nasir.
Sebagai solusi, Nasir Djamil mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan jalan tol di kawasan Langkat menuju Medan, yang dapat mengurangi risiko kejahatan di jalur lintas Sumatera.
Dengan jalur tol, supir dapat terhindar dari jalur-jalur rawan kejahatan. Selain itu, ia mendesak pihak TNI untuk mengambil sikap tegas terhadap oknum-oknum berseragam yang terlibat dalam praktik ilegal ini.
Praktik ini, menurutnya, tak hanya membahayakan keselamatan supir, tetapi juga mengganggu stabilitas distribusi CPO, yang memiliki peran penting bagi perekonomian.
“Saya berharap polisi segera menindaklanjuti laporan ini. Kita perlu melindungi para supir tangki yang selama ini menjadi ujung tombak dalam distribusi CPO di jalur lintas Sumatera,” pungkasnya.