DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Umum Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PW PII) Aceh, Mohd Rendi Febriansyah, mengatakan bahwa ajaran Millah Abraham atau Millata Abraham telah lama disepakati sebagai aliran sesat oleh para ulama Aceh.
Penegasan ini disampaikan menyusul temuan terbaru Tim Terpadu Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Pemerintah Aceh yang kembali mendeteksi aktivitas jaringan tersebut di sejumlah daerah pada 10“11 November 2025.
Menurut Rendi, sikap PII Aceh sejalan dengan ketetapan ulama sebagai otoritas tertinggi dalam menentukan kesesatan suatu ajaran.
"Ketika ulama telah menetapkan bahwa Millah Abraham adalah ajaran sesat, maka kami di PII Aceh tegak lurus terhadap fatwa tersebut,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Senin, 17 November 2025.
Rendi menjelaskan bahwa PII Aceh telah melakukan kajian mendalam terkait ajaran ini. Dalam kajian tersebut, ditemukan sejumlah penyimpangan serius yang bertentangan dengan akidah Islam.
“Ada pemahaman keliru bahwa syariat Nabi Muhammad harus mengikuti syariat Nabi Ibrahim. Lalu muncul konsep trinitas yang menyebut Allah, Firman, dan Rasul itu satu. Ini jelas bertentangan dengan tauhid,” tegasnya.
Ia juga menyoroti keyakinan para pengikut Millah Abraham bahwa dosa manusia telah ditebus oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail melalui peristiwa kurban. Selain itu, kemunculan tokoh yang mengklaim diri sebagai nabi baru, Ahmad Musadeq, juga menjadi bukti nyata kesesatan ajaran tersebut.
“Semua ini menunjukkan penyimpangan yang sangat jauh dari ajaran Islam. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa ini aliran sesat, bukan khilafiyah,” tambah Rendi.
Selain fatwa ulama, regulasi di Aceh juga tegas melarang ajaran tersebut. Rendi menegaskan bahwa Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2011 secara jelas menyatakan larangan aktivitas Millata Abraham.
“Pergub itu sudah sangat jelas. Tidak ada lagi ruang perdebatan apakah ajaran ini sesat atau tidak,” katanya.
Rendi menyampaikan bahwa upaya pencegahan penyebaran ajaran sesat harus dimulai dari edukasi di tingkat masyarakat. Ulama, dayah, dan para santri disebut memiliki peran kunci dalam memberikan pemahaman akidah yang benar kepada masyarakat.
Ia juga menilai penting bagi Pemerintah Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh untuk kembali mengaktifkan serta memperkuat Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yang dinilai efektif dalam mengawasi gerakan-gerakan terlarang.
“Organisasi Islam harus turun tangan mencerdaskan umat. PII Aceh sendiri telah mengadakan FGD tentang bahaya aliran sesat pada 25 Agustus lalu, dan mendorong lahirnya Qanun khusus penanganan aliran sesat di Aceh,” tutupnya.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh melalui Tim Terpadu menemukan indikasi kuat bahwa jaringan Millah Abraham kembali aktif di sejumlah titik di Bireuen dan Aceh Utara. Pola gerakan mereka kini dinilai lebih senyap, terstruktur, dan memanfaatkan ruang digital.
Di Gampong Samuti Rayeuk, Gandapura, Bireuen, tim menemukan aktivitas mencurigakan dari seorang pria bernama Harun Ar Rasyid (60) bersama anaknya Mercusuar (27). Keduanya tinggal di rumah sewa sederhana dan dikenal sangat tertutup oleh warga sekitar.
Geuchik Samuti Rayeuk, Muntasir, mengatakan bahwa Harun hampir tidak pernah bersosialisasi. “Dia tidak pernah ikut kegiatan gampong, anak-anaknya pun belajar online dari rumah,” ujarnya.
Dalam penggeledahan, petugas menyita tiga laptop dan jaringan Wi-Fi yang diduga digunakan untuk koordinasi jaringan. Informasi awal menyebut peserta pertemuan kelompok ini diberi uang saku Rp300.000, meski jumlah anggota di Aceh masih relatif kecil.
Di Aceh Utara, seorang pria bernama Nazari A. Djalil kembali teridentifikasi aktif mempertahankan ajaran sesat tersebut. Plt. Kabid Wasnas Kesbangpol Aceh Utara, Hery Sofia Darma, menyebut Nazari sebagai sosok keras kepala.
“Dia pernah menantang staf KUA saat diberikan pembinaan. Bahkan pernah diamankan di teras Masjid Al-Hanafiah bersama beberapa pengikutnya, namun tetap menolak bertobat,” ungkapnya.