Tiga Kandidat dan Satu Putaran Mungkinkah di Pilpres 2024
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Akademisi FISIP USK dan Pendiri Jaringan Survei Inisiatif. [Foto: for Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Nasional - Pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) dua putaran di Indonesia selalu menjadi panggung politik yang penuh dinamika, terutama ketika lebih dari tiga kandidat bersaing, menciptakan lanskap politik yang kaya warna.
Aryos Nivada, pendiri Jaringan Survei Inisiatif, memberikan wawasan berharga terkait fenomena Pilpres 2024 yang menampilkan tiga kandidat, merinci kompleksitas proses pemilihan di tanah air.
Menurut Aryos, keberadaan lebih dari tiga kandidat mencerminkan keberagaman dan kompleksitas politik di Indonesia.
"Lebih dari tiga kandidat memberikan pemilih pilihan yang lebih luas, tetapi juga menuntut pemikiran dan pertimbangan yang lebih matang dalam memilih," ungkap Aryos kepada Dialeksis.com (24/01/2024).
Dalam konteks majunya tiga kandidat, Aryos menyoroti dinamika pilihan pemilih dari awal hingga akhir kampanye. Hal ini memungkinkan kandidat dan tim kampanye untuk merespon dengan cepat terhadap perkembangan, karena perubahan bisa dipicu oleh faktor-faktor yang menentukan.
Aryos juga akademisi FISIP Universitas Syiah Kuala menekankan tantangan dan keuntungan dalam Pilpres dua putaran dengan lebih dari tiga kandidat.
"Tantangan utama adalah memastikan informasi yang akurat dan aktual terkait preferensi pemilih, sementara keuntungannya adalah mendukung proses demokrasi yang inklusif dengan memberikan lebih banyak opsi kepada pemilih," jelasnya.
Bila dilihat fakta sejarah Aryos menjelaskan, Pilpres langsung di Indonesia yang di ikuti lebih dari dua pasangan calon pernah menghasilkan dua putaran pada Pilpres 2004. Putaran pertama yang diikuti oleh lima pasangan calon tak ada pasangan yang mencapai lebih dari 50 persen suara, sehingga dilangsungkan putaran kedua Pilpres 2004 pada 20 September 2004. Pada putaran kedua ini, dua pasangan calon dengan perolehan suara tertinggi dari putaran pertama bersaing, yaitu Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Muhammad Jusuf Kalla dan Pasangan Megawati Soekarnoputri - Hasyim Muzadi.
"Dimana kemudian pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih.,"ungkapnya.
Namun menurut Aryos berbeda halnya dengan Pilpres 2009, meskipun terdapat tiga paslon, namun SBY-Boediono memenangkan kontestasi politik ini dengan perolehan suara 60,8% pada putaran pertama. Ini bisa jadi karena ada petahana effect. Sehingga meskipun pasangan lebih dari dua pasangan calon, namun petahana yang menguasai struktur kekuasaan dinilai lebih mampu menguasai gelanggang politik.
Selanjutnya di momentum Pemilu 2024. Aryos menerangkan situasi agak sedikit berbeda. Dimana Prabowo agak beranomali karena didukung dengan dominasi kekuasaan yaitu Istana, sementara dia juga dibackup oleh koalisi partai yang besar. Sementara dalam konteks 2004 dan 2009 terjadi karena kenormalan,karena semua kandidat tidak didukung penguasa secara vulgar sehingga memiliki perbedaan dalam konteks Pilpres 2024. Sudut pandangnya tidak bisa disamakan karena memiliki faktor X yang berbeda.
"Dengan modalitas besar secarta kekuatan politik berpeluang besar menang satu putaran kandidat presiden Prabowo dan Gibran,"jelasnya.
Lebih jauh ternyata menurut Aryos satu putaran sangat tergantung bagaimana konsolidasi suara di pemilih, strategi serta jalannya semua lini tim pemenangan bergerak.“itu semua tergantung tiga faktor kunci itu”tegas aryos.
Disisi lain dalam pandangan Aryos Nivada, kampanye yang berfokus pada isu-isu substantif dan kebijakan akan menjadi kunci keberhasilan di masa depan.
"Dalam situasi dengan lebih dari tiga kandidat, pesan dan visi yang jelas akan menjadi kunci untuk menarik dukungan yang signifikan," paparnya.
Pernyataan Aryos Nivada dianggap sebagai bahan berharga bagi para kandidat dan tim sukses, membimbing mereka dalam memahami dinamika Pilpres 2024 dan menyusun strategi yang cerdas untuk meraih dukungan masyarakat.