DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam menghadapi Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Aceh yang dijadwalkan berlangsung pada Juni 2025, denyut politik dalam tubuh partai berlambang pohon beringin ini mulai memanas.
Aroma kompetisi tajam antara kader-kader senior, wajah lama, hingga calon 'kuda hitam' pun mulai menyeruak. Siapa yang layak menjadi nahkoda baru menggantikan Teuku Nurlif, Ketua DPD I Golkar Aceh dua periode terakhir?
Isu ini dibedah secara lugas oleh Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada, dalam podcast bertajuk Sisi Lain bersama host Shaleh Abdullah.
Aryos menggarisbawahi bahwa Partai Golkar adalah partai besar yang masih mempertahankan ruh musyawarah dalam proses pemilihan pemimpinnya.
"Berbeda dari partai lain yang sudah cenderung pada pola penunjukan, Golkar masih menjaga denyut demokrasi internalnya meski faktor restu DPP, konstituen pemilik suara, dan logistik tetap dominan,” ujar Aryos.
Menurutnya, setiap Musda Golkar memang tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar utama: restu DPP, pemilik suara di daerah, dan logistik.
Empat nama utama disebut sebagai kandidat kuat: Andi Sinulingga, Muklis Takabeya, Tengku Raja Keumangan (TRK), dan Lukman CM. Masing-masing memiliki kekuatan dan tantangan tersendiri.
Lukman CM disebut sebagai figur senior yang selalu muncul di tiap Musda namun tak kunjung benar-benar turun gelanggang. Aryos menyebutnya sebagai “bukan fighter”.
“Mungkin ia tidak punya confidence politik, atau memang hanya ingin menjadikan partai sebagai rumah, bukan medan juang,” kata Aryos.
Andi Sinulingga, kader nasional yang belakangan diwacanakan pertama kali oleh kader Golkar Aceh Islamuddin, dinilai punya pengaruh besar di tingkat pusat. Namun, Aryos mencatat bahwa Andi masih kurang menunjukkan pengabdian konkret di Aceh dan belum mampu membuktikan elektabilitas di setiap kontestasi pemilu.
"Dia main di kolam besar. Ketika masuk ke kolam kecil seperti Aceh, belum tentu cocok,” ungkapnya.
Muklis Takabeya, figur yang dinilai mumpuni dari segi kepemimpinan dan finansial, justru belum menunjukkan keseriusan.
Sementara itu, TRK (Tengku Raja Keumangan) dinilai sebagai figur paling komplet saat ini. Aryos menyebutnya sebagai sosok pewaris Golkar sejati.
“Dari darahnya sudah Golkar, dari kakeknya pendiri Sekber Golkar. Ia punya logistik, komunikasi yang kuat, kedekatan dengan DPP, dan elektabilitas yang tinggi di masyarakat,” sebutnya.
Bahkan, menurut survei internal yang disebut Aryos, TRK mendapatkan respon positif dari masyarakat di berbagai platform media sosial.
Salah satu dinamika paling kontroversial adalah wacana masuknya Bustami, yang bukan berasal dari internal partai, ke dalam bursa calon ketua melalui jalur diskresi Ketua Umum. Ini sempat memantik perdebatan etis dan moral di kalangan internal Golkar.
“Bayangkan, orang yang tidak berdarah-darah membangun partai ini, tiba-tiba masuk melalui jalur diskresi dan mengambil alih pucuk pimpinan. Itu ngenes,” kata Aryos.
Namun, ia mengakui bahwa diskresi bukan hal baru dalam Golkar. Beberapa daerah lain juga mengalami hal serupa. Bahkan Nurlif, Ketua saat ini, kabarnya juga sedang mencoba mengajukan permohonan diskresi untuk bisa maju lagi.
Ketika ditanya soal krisis kader di Golkar, Aryos memberi tafsir yang menarik. “Masalahnya bukan pada jumlah kader. Golkar Aceh surplus kader. Masalahnya pada keberanian kaum muda untuk tampil dan mengambil momentum,” ujar kandidat doktor ini.
Ia menambahkan bahwa struktur Golkar Aceh saat ini memiliki stock politik yang kuat, mulai dari 3 kursi DPR RI, 9 kursi DPRA, hingga puluhan kursi DPRK. Namun, ada kekhawatiran stagnasi jika regenerasi tidak dilakukan dengan berani dan bijak.
Menurut Aryos, tantangan utama Golkar Aceh ke depan adalah melakukan pembaruan struktural dan konsolidasi.
“Golkar Aceh belum bisa menjadi poros utama dalam peta koalisi lokal. Masih kalah dari partai lokal yang lebih dinamis,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa meski saat ini Golkar berada di luar kekuasaan di Aceh, namun secara nasional partai ini selalu menunjukkan sikap dewasa dalam politik.
“Golkar tidak punya sejarah oposisi. Bahkan ketika kalah, ia tetap menyatakan dukungan terhadap pemerintahan terpilih. Ini budaya politik yang dewasa dan patut diapresiasi,” ucapnya.
Menjelang Musda, pertanyaannya kini bukan hanya siapa yang akan menang, tapi apakah prosesnya akan menjadi ajang konsolidasi kekuatan atau malah memecah partai dari dalam. Aryos berharap Musda kali ini menjadi momentum evaluasi internal dan regenerasi yang sehat.
“Jangan jadikan Musda sebagai arena transaksional. Ini waktunya Golkar Aceh membuktikan bahwa ia bisa lebih dari sekadar partai warisan, tapi rumah perjuangan untuk kemajuan Aceh,” pungkas Aryos. [nh]