TTI Desak APH Tindaklanjuti Pelanggaran Hukum dalam Proses Tender
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar. Foto: dok pribadi
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Transparansi Tender Indonesia (TTI) mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran dalam proses tender.
Selama ini, menurut TTI, banyak aturan yang dilanggar oleh pejabat pemerintah dan Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk memilih dan menetapkan calon penyedia (rekanan).
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, menegaskan bahwa APH dapat mencegah terjadinya pelanggaran hukum dan korupsi dengan penegakan aturan yang tegas.
"APH tidak mesti menunggu terjadinya korupsi. Pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan penegakan aturan yang sudah ada," kata Nasruddin kepada Dialeksis.com, Minggu (21/7/2024).
Ia mencontohkan adanya perusahaan yang memenangkan paket pekerjaan melebihi batas yang ditetapkan oleh aturan.
"Untuk usaha kecil dibatasi maksimal lima paket pekerjaan. Namun, ada perusahaan yang memenangkan lebih dari lima paket, bahkan hingga 15 paket pekerjaan," ugkapnya.
Nasruddin juga menyoroti tindakan Pokja Pemilihan yang tidak segan memenangkan perusahaan yang berada di urutan terakhir.
"Ada 17 peserta tender, namun yang dimenangkan adalah nomor urut 17. Peserta lain digugurkan dengan alasan yang dicari-cari, seperti ketidaksesuaian surat dukungan atau hasil scan tanda tangan basah yang tidak substansial," tambahnya.
Pelanggaran ini, lanjut Nasruddin, berpotensi merugikan negara. "Jika nomor urut 1 menawarkan 12% di bawah HPS dan nomor urut 17 hanya menawarkan 2% di bawah HPS namun tetap dimenangkan, jelas ada keberpihakan oknum Pokja yang ingin cepat kaya," tuturnya.
Menurut Nasruddin, jika APH mau memproses Pokja Pemilihan, penegakan aturan tender akan berjalan sesuai dengan Perpres 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Perlem LKPP nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Melalui Penyedia.
Kasus Pembangunan Bunker RSZA
Nasruddin juga menyinggung kasus pembangunan bunker di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUDZA). Ia mengkritik pelaksanaan pembangunan yang dilakukan melalui E-katalog Konstruksi, bukan tender.
"E-katalog Konstruksi diperbolehkan, tetapi bukan dianjurkan. Pembangunan bunker yang spesifik harusnya ditender, agar penyedia yang memenuhi syarat baik dari segi pengalaman maupun personel ahli bisa dipilih," jelasnya.
Menurutnya, APH harus proaktif memeriksa siapa saja yang terlibat dalam keputusan ini dan apa motif di balik penggunaan E-katalog. "Jika alasan Direktur RSUDZA adalah untuk menghindari intervensi luar, itu sangat mengada-ngada," tambahnya.
TTI berharap dengan adanya tindakan tegas dari APH, proses tender di Aceh bisa berjalan lebih transparan dan akuntabel, sehingga kepentingan masyarakat dapat terlindungi dengan baik.***