DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Transparansi Tender Indonesia (TTI) menuding Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Kementerian PUPR Provinsi Aceh tidak konsisten dan telah melakukan pembohongan publik.
Dugaan ini muncul setelah sejumlah proyek jalan yang awalnya diumumkan melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) akan dilelang dengan metode tender cepat, justru dialihkan menjadi sistem E-Purchasing atau E-Katalog Konstruksi.
Koordinator TTI, Nasruddin Bahar, mengatakan perubahan sistem pemilihan penyedia tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan motif di balik keputusan Kabalai BPJN Aceh.
“Jika alasannya untuk menghemat waktu, justru sistem tender cepat lebih efisien karena prosesnya hanya membutuhkan tiga hari. Faktanya, hingga kini paket-paket tersebut masih berproses,” ujar Nasruddin dalam keterangannya di Banda Aceh, Rabu (22/10/2025).
Adapun sejumlah paket proyek yang semula tercantum di SiRUP dengan metode tender cepat, di antaranya:
1. Peningkatan Jalan Keude Peureulak - Leubok Pempeng senilai Rp14,09 miliar
2. Peningkatan Jalan Batu Lintang - Tanah Abu Seksi 1 senilai Rp8,70 miliar
3. Peningkatan Jalan Batu Lintang - Tanah Abu Seksi 2 senilai Rp22,64 miliar
4. Perbaikan Jalan Panton Labu - Langkahan senilai Rp11,53 miliar
5. Peningkatan Jalan Kembang Tanjung - Keude Ie Leubu senilai Rp12 miliar
6. Peningkatan Jalan Keude Lung Putu - Simpang Blang Gapu senilai Rp11,50 miliar
7. Perbaikan Jalan Penosan - Keudah senilai Rp17,10 miliar
8. Perbaikan Jalan Syiah Kuala senilai Rp23,91 miliar
9. Perbaikan Jalan Peukan Pidie - Jabal Ghapur - Teupin Raya Seksi 1 senilai Rp23,66 miliar
Menurut TTI, perubahan metode pengadaan dari tender cepat ke E-Purchasing berpotensi mengurangi transparansi publik. Sebab, dalam sistem E-Purchasing, hanya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang memiliki akses penuh untuk melihat daftar perusahaan penyedia dan penawaran harga.
“Publik tidak bisa memantau siapa saja perusahaan yang ikut bersaing. Jika timbul rasa curiga, itu hal yang wajar, karena sistem E-Purchasing rawan penyimpangan,” lanjut Nasruddin.
Ia juga menilai, langkah PPK dan Pokja Teknis yang masih melakukan evaluasi administrasi dan teknis dalam sistem E-Purchasing menunjukkan adanya tumpang tindih prosedur.
“Kalau masih dilakukan evaluasi seperti tender umum, untuk apa menggunakan E-Purchasing? Lebih baik kembali ke tender terbuka saja,” tegasnya.
TTI mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya kejaksaan, untuk ikut mengawasi proses pengadaan tersebut. Nasruddin menilai kejaksaan memiliki kewenangan untuk meminta hasil evaluasi tender guna mencegah potensi terjadinya praktik korupsi atau persekongkolan.
“Kejaksaan harus proaktif. Pencegahan lebih baik daripada penindakan setelah ada kerugian negara,” pungkasnya.