Kamis, 18 September 2025
Beranda / Politik dan Hukum / UU Perampasan Aset: Senjata Baru atau Ancaman Baru?

UU Perampasan Aset: Senjata Baru atau Ancaman Baru?

Kamis, 18 September 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Praktisi hukum dan pengacara Hermanto. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tengah digodok pemerintah dan DPR disebut-sebut sebagai langkah maju dalam perang melawan korupsi. Namun, di balik optimisme itu, tersimpan pula potensi masalah yang tak kalah serius. Praktisi hukum dan pengacara Hermanto mengingatkan, regulasi ini bisa menjadi pedang bermata dua.

Hermanto menilai RUU ini bisa menutup celah yang selama ini kerap dimanfaatkan koruptor. Selama bertahun-tahun, banyak kasus berhenti di hukuman badan, sementara aset hasil korupsi sulit disentuh hukum.

“Dengan UU ini, negara punya jalan untuk menarik kembali aset yang sejatinya milik rakyat. Bahkan jika pelaku sudah melarikan diri atau meninggal dunia, hasil kejahatannya tetap bisa dirampas,” kata Hermanto saat dihubungi wartawan Dialeksis.com  pada Kamis (18/9/2025).

RUU ini, menurutnya, menempatkan aset hasil tindak pidana sebagai musuh negara. Pendekatan semacam ini sudah lama dipraktikkan di berbagai negara, dari Italia hingga Inggris, sebagai bagian dari strategi follow the money.

Meski potensinya besar, Hermanto tak menutup mata terhadap risiko. Regulasi ini bisa berubah menjadi instrumen represi jika tak dikawal dengan ketat.

“Bahaya paling nyata adalah ketika perampasan dilakukan hanya berdasarkan dugaan. Itu bisa menabrak prinsip hak asasi manusia,” ujarnya.

Ia mengurai tiga titik rawan, pertama pelanggaran hak individu, bahayanya aset bisa lenyap tanpa pembuktian kuat. Belum kata Hermanto jika tanpa prosedur jelas, masyarakat kehilangan rasa aman. Serta terakhir dirinya menyatakan rawan jika disahkan UU tersebut, bisa dipakai aparat untuk menekan lawan politik atau kelompok tertentu.

Hermanto mengibaratkan, regulasi yang lahir tanpa pagar hukum justru berpotensi lebih merusak daripada praktik korupsi itu sendiri.

Lantas, bagaimana agar UU ini tak menjadi bumerang? Hermanto mengusulkan beberapa langkah, meliputi perkuat proses hukum.

"Setiap perampasan wajib melalui pengadilan dengan mekanisme pembelaan yang terbuka,” ujarnya. 

Selanjutnya masukan subtansi dalam isi pasal hak menggugat balik, Warga yang asetnya dirampas harus punya jalur hukum untuk menuntut balik jika terbukti tak bersalah.

“Pengawasan independen. Perlu ada lembaga khusus yang memastikan UU ini tak disalahgunakan. Dan sosialisasi publik. Pemerintah harus menjelaskan hak dan kewajiban masyarakat agar tak ada kebingungan ketika UU dijalankan,” jelasnya lagi.

“Pemberantasan korupsi butuh ketegasan, tapi ketegasan tanpa keadilan hanya akan melahirkan ketidakadilan baru,” tegas Hermanto

RUU Perampasan Aset masih berada di meja pembahasan. Bagi sebagian kalangan, ia adalah harapan baru untuk mengembalikan uang negara. Namun bagi yang lain, ia adalah potensi ancaman jika tidak dikawal dengan prinsip keadilan.

Hermanto menyimpulkan: “Kita butuh undang-undang ini, tapi yang lahir bukanlah senjata untuk membungkam, melainkan alat untuk menegakkan hukum. Negara harus hadir sebagai penjamin keadilan, bukan penguasa yang sewenang-wenang.” [arn]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid