YARA Desak KPK Supervisi Polda Aceh Usut Dugaan Korupsi Wastafel Disdik Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Kepala Perwakilan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Kota Banda Aceh, Yuni Eko Hariatna, yang akrab disapa Haji Embong. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Perwakilan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Kota Banda Aceh, Yuni Eko Hariatna, yang akrab disapa Haji Embong, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan supervisi terhadap Polda Aceh dalam mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan Aceh.
Tuntutan ini muncul karena penanganan kasus yang ditangani oleh Polda Aceh dinilai belum maksimal, meski sudah ada beberapa orang yang dijadikan tersangka.
Permintaan supervisi ini, menurut Haji Embong, didasarkan pada kewenangan KPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 6 huruf d UU tersebut, KPK berwenang melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selain itu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memperkuat landasan hukum bagi KPK untuk turun tangan.
"Hari ini kami mengajukan pengaduan masyarakat ke KPK agar dilakukan supervisi dalam penanganan dugaan korupsi pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan Aceh yang ditangani oleh Polda Aceh. Ini penting untuk memaksimalkan pengungkapan kasus hingga tuntas," ujar Haji Embong kepada Dialeksis.com, Kamis (26/9/2024).
Haji Embong menyoroti kesulitan Polda Aceh dalam mengungkap kasus ini secara tuntas.
Hingga saat ini, hanya tiga orang yang telah dijadikan tersangka, yakni Rahmat Fitri (Kepala Dinas Pendidikan Aceh), Mukhlis (Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa), dan Zulfahmi (PPTK Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pendidikan Aceh).
Padahal, dalam keterangan tersangka lainnya yang telah disidangkan, terdapat beberapa nama lain yang diduga turut terlibat aktif dalam korupsi tersebut.
Dalam pengaduan masyarakat (Dumas) yang disampaikan ke KPK, YARA juga menyertakan kronologi kasus dan beberapa alat bukti pendukung lainnya.
Haji Embong menyebutkan bahwa selain tiga tersangka tersebut, masih ada beberapa nama penting yang disebut dalam keterangan tersangka.
Mereka adalah Nova Iriansyah (mantan Gubernur Aceh), Taqwallah (Sekretaris Daerah Aceh), Bustami Hamzah (Penjabat Gubernur Aceh), Teuku Nara Setia, Kausar (anggota DPRA), Hendra Budian (Wakil Ketua DPRA), dan Zulfikar alias Om Zul, yang hingga kini belum tersentuh hukum.
"Kami menilai Polda Aceh kesulitan mengusut kasus ini sampai tuntas. Hanya tiga orang yang dijerat sejauh ini, padahal dalam sidang tersangka lainnya sudah ada beberapa nama besar yang muncul dan terlibat aktif. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan supervisi dan membantu penyelesaian kasus ini secara menyeluruh," jelas Haji Embong.
Menurut Haji Embong, ketujuh nama yang disebut, termasuk para pejabat penting di Aceh, seharusnya sudah masuk dalam proses hukum mengingat peran mereka dalam pengaturan alokasi anggaran pengadaan wastafel.
Ia menyatakan bahwa supervisi dari KPK diperlukan agar pengusutan kasus ini dapat berjalan lebih transparan dan adil.
"Nama-nama seperti Nova Iriansyah, Taqwallah, Bustami Hamzah, dan lainnya sudah disebut dalam keterangan tersangka. Mereka terlibat dari awal hingga akhir dalam pengaturan anggaran ini. Namun hingga kini, hukum belum menyentuh mereka. Ini yang menjadi alasan kuat kami meminta KPK untuk turun tangan, karena kasus ini tidak bisa berhenti hanya di tiga tersangka," tambah Haji Embong.
Dengan laporan yang sudah disampaikan ke KPK, YARA berharap KPK segera mengambil langkah nyata dalam melakukan supervisi atas penanganan kasus ini.
Haji Embong meyakini, dengan adanya pengawasan KPK, proses hukum akan berjalan lebih efektif dan pihak-pihak yang terlibat dapat diusut tanpa ada yang luput dari jeratan hukum.
"Kami berharap KPK segera bertindak dengan mengawasi jalannya penyelidikan yang dilakukan Polda Aceh. Kami tidak ingin kasus ini berlarut-larut tanpa kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat. Sudah terlalu lama publik Aceh menunggu keadilan dalam kasus ini," pungkas Haji Embong. [nh]