Pemerintah Darurat Republik Indonesia Berkantor di Banda Aceh, Jejak Sejarah yang Terkubur
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Tengku Abdullah Sakti, seorang sejarawan dan budayawan Aceh. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam pusaran sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran Aceh sering kali terabaikan meskipun daerah ini memiliki kontribusi signifikan dalam menjaga eksistensi Republik Indonesia di tengah gempuran kolonial Belanda.
Salah satu babak penting adalah ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sempat berkantor di Banda Aceh, sebuah peristiwa yang memberikan nafas panjang bagi Republik Indonesia di masa krisis.
Tengku Abdullah Sakti, seorang sejarawan dan budayawan Aceh, mengungkapkan bahwa jejak sejarah ini harus terus diingat sebagai bukti ketangguhan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan.
Pada akhir 1948, situasi politik dan militer Indonesia berada di titik genting setelah Belanda melancarkan Agresi Militer ke-II. Yogyakarta, sebagai pusat pemerintahan, berhasil dikuasai oleh Belanda, dan para pemimpin Republik, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, ditangkap dan diasingkan.
Dalam situasi yang sangat kritis ini, sebelum ditangkap, Soekarno-Hatta memberikan mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera.
Menurut Tengku Abdullah Sakti, persiapan untuk pembentukan PDRI sebenarnya sudah dibahas dalam sidang kabinet di Yogyakarta yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno.
"Mereka sudah memprediksi kemungkinan terburuk, yaitu serangan Belanda terhadap Yogyakarta. Oleh karena itu, pembentukan PDRI sebagai pemerintahan darurat merupakan langkah antisipatif yang sangat cerdas," ujar TA Sakti kepada Dialeksis.com, Minggu (18/8/2024).
PDRI resmi dibentuk pada 22 Desember 1948 di Halaban, Sumatera Barat. Bukittinggi awalnya dipilih sebagai pusat pemerintahan.
Namun, tidak lama kemudian, Bukittinggi diserang dan direbut oleh Belanda. Situasi ini memaksa Mr. Syafruddin Prawiranegara dan para pejabat PDRI lainnya untuk memindahkan pusat pemerintahan ke tempat yang lebih aman. Pilihan jatuh kepada Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh.
"Pemindahan PDRI ke Aceh bukanlah tanpa alasan. Aceh merupakan salah satu wilayah yang belum bisa dikuasai oleh Belanda pasca-kemerdekaan. Semangat juang rakyat Aceh yang dibarengi dengan nilai-nilai Islam sangat kokoh dalam mempertahankan tanah air mereka dari cengkeraman kolonialisme," jelas TA Sakti.
Keputusan ini juga didukung oleh kondisi strategis Aceh yang sulit dijangkau oleh Belanda.
Aceh menjadi benteng terakhir Republik Indonesia, di mana gerakan perlawanan rakyat semesta digalang dengan lebih terorganisir.
Di Aceh, PDRI tidak hanya sekadar berkantor, tetapi juga menjadi pusat koordinasi perlawanan gerilya yang melibatkan berbagai unsur masyarakat dan militer.
"Ketika Yogyakarta jatuh, Aceh menjadi tumpuan utama perjuangan Republik Indonesia. Para perwira tinggi dan menengah yang berhasil hijrah ke Aceh turut memperkuat barisan perlawanan, membangun jaringan gerilya yang sangat efektif dalam melemahkan posisi Belanda," tambah TA Sakti.
Keberadaan PDRI di Aceh juga menjadi saksi atas solidaritas rakyat Aceh yang luar biasa.
Saat itu, ribuan pengungsi dari berbagai wilayah di Sumatera Timur melarikan diri ke Aceh untuk menghindari pendudukan Belanda.
Rakyat Aceh menerima mereka dengan tangan terbuka, menyambut mereka sebagai saudara sebangsa yang harus dibantu dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
"Pengungsi yang datang ke Aceh ini tidak hanya lari untuk menyelamatkan diri. Mereka juga menjadi bagian dari perjuangan. Ada yang bergabung dalam laskar rakyat, ada yang menjadi guru, petani, dan profesi lainnya untuk mendukung kebutuhan logistik dan pendidikan di tengah masa perang," kata TA Sakti.
Perlawanan rakyat semesta yang digalang dari Aceh ini sangat efektif. Menurut TA Sakti, gerakan perlawanan ini melibatkan taktik gerilya yang cerdik, dengan memanfaatkan medan yang sulit dijangkau oleh Belanda dan terus-menerus mengganggu pasukan pendudukan.
"Ini adalah perang yang tidak pernah berhenti, serangan sporadis dari rakyat dan gerilyawan terus dilakukan, dan itu membuat Belanda kelelahan," jelasnya.
TA Sakti juga menyoroti pentingnya peran komunikasi dalam masa perjuangan ini.
Melalui siaran radio, baik dalam dan luar negeri, rakyat Aceh mendapatkan informasi tentang agresi kedua Belanda dan keberadaan PDRI di wilayah mereka.
Hal ini tidak hanya membangkitkan semangat juang, tetapi juga memperkuat solidaritas di antara rakyat Aceh dan seluruh komponen bangsa yang masih setia pada Republik.
"Radio menjadi alat penting untuk menyatukan semangat juang. Dari Aceh, pesan-pesan perjuangan dikirimkan ke seluruh penjuru negeri. Ini membuat Belanda kesulitan untuk benar-benar menundukkan Republik," kata TA Sakti.
Pada akhirnya, PDRI yang sempat berkantor di Banda Aceh menjadi simbol ketahanan dan keberanian bangsa Indonesia dalam menghadapi kolonialisme.
Meskipun masa berkantornya tidak lama, namun kontribusi Aceh dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.
Aceh, dengan semangat jihad fisabilillah yang kuat, berhasil memberikan perlindungan bagi PDRI dan menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tengku Abdullah Sakti menekankan kepada generasi muda Aceh bahwa sejarah PDRI di Aceh harus terus diingat dan dipelajari oleh generasi muda.
"Ini bukan hanya soal sejarah, tapi juga soal identitas dan harga diri bangsa. Aceh telah memberikan segalanya untuk republik ini, dan itu adalah warisan yang harus kita jaga," pungkasnya.[nh]