DIALEKSIS.COM | Jantho - Menulis bukan sekadar kegiatan menuangkan kata di atas kertas, melainkan cara manusia meninggalkan jejak peradaban.
Pandangan itu disampaikan oleh Peneliti Filologi Melayu-Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Hermansyah, dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Kepenulisan Berbasis Konten Budaya Lokal Tahun 2025 yang mengusung tema Menulis untuk Melestarikan Budaya, Berkarya untuk Negeri, di Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Kamis (9/10/2025).
Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Aceh Besar, sebagai upaya menumbuhkan semangat literasi dan pelestarian budaya melalui karya tulis.
Hermansyah, alumnus Magister Filologi Aligarh Muslim University, India, menegaskan bahwa menulis adalah salah satu bentuk nyata dari usaha manusia untuk diingat oleh sejarah.
“Kalau ingin dikenal di dunia, atau ingin tetap dikenang di dunia, maka menulislah. Menulis itu adalah meninggalkan jejak peradaban,” ujar Hermansyah kepada media dialeksis.com.
Menurutnya, Kabupaten Aceh Besar memiliki warisan sejarah dan budaya yang luar biasa kaya, namun belum tergarap secara optimal dalam bentuk karya tulis.
“Aceh Besar itu tanah yang punya sejarah dan budaya luar biasa. Tapi karena posisinya tersisih oleh hiruk pikuk pusat kota, maka tidak banyak orang yang tertarik menulis tentangnya,” tuturnya.
Ia menilai bahwa kegiatan Bimtek seperti ini sangat penting untuk digalakkan oleh pemerintah daerah dan lembaga-lembaga pendidikan.
Melalui pelatihan menulis berbasis budaya lokal, generasi muda dapat belajar menggali khazanah warisan leluhur dan mengangkatnya ke tingkat yang lebih luas.
“Kegiatan seperti ini perlu terus digalakkan oleh lembaga pemerintah daerah agar lebih banyak penulis lahir dari Aceh. Dengan begitu, warisan budaya lokal bisa naik ke level selanjutnya,” ungkap Hermansyah.
Sebagai akademisi, Hermansyah juga memberikan sejumlah rekomendasi untuk menghidupkan semangat literasi di tengah masyarakat.
Menurutnya, budaya membaca tidak akan tumbuh tanpa dukungan infrastruktur dan akses informasi yang memadai.
“Untuk menghidupkan literasi, kita harus memperkuat fasilitas dan infrastruktur membaca. Kedua, memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengakses informasi-informasi yang positif,” jelasnya.
Ia juga mendorong agar program literasi dikembangkan dengan pendekatan berbasis komunitas. Misalnya, menjadikan masjid, pustaka gampong, atau menasah sebagai pusat kegiatan membaca dan diskusi.
“Masyarakat perlu dibiasakan membaca di mana saja -- di masjid, di pustaka, atau di menasah. Tapi tentu fasilitasnya juga harus disediakan oleh pemerintah dan didukung dengan kegiatan rutin,” tambahnya.
Hermansyah mengajak seluruh peserta dan masyarakat Aceh untuk kembali menghargai budaya dan bahasa daerah sebagai identitas yang tidak boleh luntur oleh zaman.
“Mari kita kembali kepada petuah indatu. Sayangi budaya dan bahasa Aceh, karena di sanalah akar jati diri kita berada,” pesannya.
Ia berharap, generasi muda Aceh tidak hanya menjadi penonton perubahan, tetapi juga pelaku yang menulis dan mengabadikan kisah tentang bangsanya sendiri.
“Jika kita berhenti menulis tentang budaya kita, maka orang lain yang akan menulis tentang kita dan belum tentu dengan cara yang benar,” tutup Hermansyah. [nh]