DIALEKSIS.COM | Jantho - Sejumlah tamu dari UNESCO, Asian Culture Center (ACC), Arsip Nasional Republik Indonesia Balai Arsip Statis dan Tsunami (BAST), hingga akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry hadir dalam sebuah agenda bersejarah: Archive Restoration Workshop di Zawiyah dan Perpustakaan Kuno Teungku Chik Tanoh Abee, Aceh Besar, Kamis (18/9/2025).
Kegiatan ini bukan sekadar workshop biasa, melainkan bagian dari upaya internasional untuk menyelamatkan naskah-naskah kuno yang menjadi bukti kejayaan intelektual Islam di Aceh, sekaligus warisan peradaban dunia.
Kepala BAST, Muhammad Ikhwan, S.Sos., M.Si, yang turut mendampingi tim reservasi dari Arsip Nasional RI, menyampaikan bahwa restorasi naskah kuno adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan sekaligus kepedulian lintas generasi.
“Acara semacam ini seharusnya menjadi kegiatan rutin setiap tahun. Kita harus sadar, manuskrip-manuskrip ini bukan hanya peninggalan Aceh, tetapi juga informasi berharga yang menghubungkan peradaban Islam Nusantara dengan dunia,” ujar Ikhwan.
Menurutnya, dukungan lembaga internasional seperti UNESCO dan ACC menunjukkan bahwa naskah-naskah Tanoh Abee memiliki nilai universal.
“Kalau kita tidak serius menjaganya, kita akan kehilangan potongan sejarah yang tak ternilai,” tambahnya.
Sejarawan sekaligus filolog Aceh, Hermansyah, M.Th., M.Hum menilai kegiatan ini sangat bersejarah. Ia menghubungkannya dengan wafatnya Abu Dahlan Tanoh Abee, ulama besar dan pewaris keilmuan dari lembaga ini.
“Sejak wafatnya Abu Dahlan, ada semacam kerinduan terhadap kebangkitan kembali peran Zawiyah Tanoh Abee sebagai pusat intelektual Islam. Kedatangan lembaga internasional hari ini adalah tanda bahwa warisan tersebut masih hidup dan relevan,” ungkap Hermansyah.
Ia berharap manuskrip-manuskrip keluarga Teungku Chik Tanoh Abee dapat segera direstorasi, didigitalisasi, dan diakses lebih luas oleh masyarakat dunia.
"Bukan hanya sebagai peninggalan fisik, tapi juga sebagai sumber pengetahuan yang bisa menginspirasi generasi baru,” ujarnya.
Dari pihak keluarga, Cutbang Abulis, salah seorang pewaris Zawiyah Tanoh Abee, menyambut tamu dengan penuh kehangatan. Ia menceritakan kembali perjalanan panjang Zawiyah yang telah menjadi pusat keilmuan Islam sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam.
“Lembaga ini bukan sekadar tempat belajar agama. Zawiyah Tanoh Abee dulunya adalah pusat intelektual, tempat para ulama, penulis, dan pemikir membangun jaringan keilmuan Islam dengan dunia luar,” tuturnya.
Cutbang Abulis menambahkan bahwa hingga kini, Zawiyah masih dipimpin generasi ke-10, yakni Teungku Abdul Hafidz Al Fairusy Al Baghdady atau yang akrab dikenal dengan Cut Fid Tanoh Abee.
“Kami tetap bertahan dengan nilai kekunoan dan kesederhanaan di tengah arus modernisasi. Prinsip tauhid dan tasawuf yang diwariskan oleh Teungku Chik Tanoh Abee terdahulu adalah identitas yang tidak boleh luntur,” tegasnya.
Kegiatan Archive Restoration Workshop yang berlangsung di Tanoh Abee ini diharapkan tidak hanya berdampak pada penyelamatan fisik naskah kuno, tetapi juga memperkuat posisi Aceh di peta peradaban Islam dunia. [*]