Habibie dan Resepnya Menyelamatkan Rupiah dari Krisis 1998
Font: Ukuran: - +
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie. Foto: net
DIALEKSIS.COM | Soki - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pernah mencapai titik nadir di masa krisis ekonomi 1998. Kala itu, dolar melesat hingga Rp16.800, menciptakan gejolak ekonomi yang mengguncang fondasi Indonesia. Dalam situasi genting itu, Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie tampil sebagai pemimpin yang harus menghadapi krisis sejak hari pertama menjabat sebagai Presiden.
Habibie tidak hanya mewarisi krisis ekonomi, tetapi juga kejatuhan rezim Orde Baru yang meninggalkan banyak persoalan. Dengan langkah cepat dan strategis, teknokrat yang dikenal sebagai "Bapak Teknologi Indonesia" ini merumuskan serangkaian kebijakan yang berhasil membuat rupiah menguat ke level Rp6.550.
Restrukturisasi Perbankan: Langkah Awal
Krisis perbankan menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi Habibie. Bank-bank kecil yang tumbuh pesat berkat kemudahan pendirian pada era Orde Baru, melalui kebijakan Paket Oktober 1988, tak mampu bertahan ketika krisis datang. Nasabah panik menarik dana, menyebabkan banyak bank kolaps.
Habibie bertindak dengan merestrukturisasi sektor perbankan. Dia mencabut kebijakan pendirian bank yang terlalu longgar, sekaligus menggabungkan empat bank pemerintah menjadi satu. Hasilnya adalah lahirnya Bank Mandiri, yang kini menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia.
Selain itu, Habibie memperkuat posisi Bank Indonesia (BI) dengan memisahkannya dari pemerintah. Lewat UU No.23 Tahun 1999, BI menjadi lembaga independen yang bebas dari intervensi politik. Dalam otobiografinya, B.J. Habibie: Detik-detik yang Menentukan (2006), Habibie menyebut langkah ini sebagai salah satu keputusan terbaik untuk menguatkan kepercayaan terhadap rupiah.
Sertifikat Bank Indonesia: Menarik Kepercayaan Publik
Langkah berikutnya adalah menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan menawarkan bunga tinggi, Habibie berusaha menarik kembali kepercayaan masyarakat terhadap bank. Tujuannya sederhana: mengurangi peredaran uang di masyarakat dan mendorong masyarakat untuk menabung.
Kebijakan ini membuahkan hasil. Suku bunga yang semula mencapai 60 persen perlahan turun menjadi belasan persen. Kepercayaan publik terhadap sektor perbankan kembali pulih, membuka jalan bagi stabilisasi ekonomi.
Stabilisasi Harga Bahan Pokok
Habibie juga memahami pentingnya kebutuhan dasar masyarakat di tengah krisis. Dia menahan kenaikan harga listrik dan BBM bersubsidi agar harga bahan pokok tetap terjangkau. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah krusial untuk menjaga kestabilan sosial.
Namun, bukan tanpa kontroversi. Habibie pernah menyampaikan pernyataan yang menuai kritik, meminta rakyat "berpuasa" di masa sulit agar lebih hemat. Meski terkesan nyeleneh, kebijakan-kebijakan dasarnya berhasil mencegah krisis sosial yang lebih besar.
Kembalinya Kepercayaan Pasar
Kombinasi dari tiga langkah tersebutā”restrukturisasi perbankan, penerbitan SBI, dan stabilisasi harga bahan pokokā”berhasil membawa perubahan besar. Kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia meningkat, dana investor kembali masuk, dan rupiah kembali menguat.
Habibie membuktikan bahwa di tengah keterbatasan dan krisis, strategi yang tepat dan fokus pada stabilitas dapat membawa Indonesia keluar dari jurang krisis. Dari dolar Rp16.800, rupiah berhasil terkendali di level Rp6.550, memberi napas baru bagi perekonomian negeri ini.[]