Saiful Akmal Mendapat Beasiswa S2 dan S3 di Eropa Berkat Aktif Organisasi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Jumat (18/10/2019) pagi itu kantor sepi. Beberapa dosen barang kali sudah masuk ke kelas masing-masing. Mahasiswa masih berserakan di selasar kampus.
"Bapak keluar sebentar, mungkin ke toilet," jawab seorang pegawai sembari sibuk mengerjakan sesuatu di meja kerjanya.
Tak lama berselang, sosok yang ditunggu pun tiba. Dia adalah Dr phil Saiful Akmal MA, putera Aceh yang menyelesaikan pascasarjana (S2) di University of Liverpool, Inggris dan S3 di Johann Wolfgeng Goethe Universitat, Jerman.
Saiful memulai kisah perjalanannya hingga ke negara-negara favorit dalam melanjutkan studi tidak lepas dari aktivitas sosialnya saat berada di kampus (S1) dahulu.
"Saya menjadi Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry tahun 2003 sampai 2005. Harusnya di akhir 2004 sudah selesai, namun harus tambah masa jabatan karena diminta membantu pihak kampus untuk rekonsiliasi pasca-tsunami Aceh," kata Saiful Akmal sembari sesekali memperbaiki posisi duduknya.
Setelah menyelesaikan sarjana di Prodi Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry pada 2005, Saiful langsung mengajar di prodi tersebut sebab saat itu asisten dosen lulusan S1 masih dibolehkan.
Meski mengajar sebagai asisten dosen, Saiful juga aktif di NGO dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh. Salah satunya menjadi bagian NGO dari Australia yang fokus pada perbaikan administrasi desa pasca-tsunami.
Saiful Akmal saat diwawancara, Jumat (18/10/2019). [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]"Di tahun-tahun itu (2006) saya mencoba melamar beasiswa ke Australia tetapi beberapa dosen salah satunya Dr. Salami menyarankan untuk agar saya ke Inggris saja melalui beasiswa Cheavening," kata Saiful Akmal di meja kerjanya yang kini menjabat sebagai Sekretaris Prodi Bahasa Inggris di UIN Ar-Raniry.
Keinginan Saiful kuliah ke luar negeri berawal dari wawancara bersama wartawan BBC pasca-tsunami.
"Saat diwawancara, semua orang menolak karena khawatir tidak bisa bahasa Inggris. Lalu saya diminta oleh teman-teman untuk diwawancara oleh pihak BBC, kemudian diberi kartu nama. Sederhana," kata Saiful.
"Namun setelah peristiwa itu, cita-cita studi ke luar negeri saya semakin membesar. Kemudian saya ikut British Council Leadership Award tetapi gagal," kenangnya.
Saat mendaftar beasiswa ke Inggris melalui beasiswa Chevening, Saiful lulus namun bersyarat. Hal ini disebabkan nilai IELTS (kemampuan bahasa Inggrisnya) hanya 4,5 dari yang harusnya minimal 6,5.
"Saya ikut training 3 bulan di Jakarta dengan hasil memuaskan, skornya 7,5 dan itu melampaui dari yang dipersyaratkan," ungkapnya.
Kemudian saat mengisi formulir, ia ditanyai oleh beberapa dosen tentang kampus tujuan. Karena suka bola sejak kecil, "saya jawab saja, kalau bukan ke Liverpool ya ke Manchester," kata Saiful sembari tertawa.
Mengambil jurusan Analisis Wacana, Saiful berangkat pada 2006 ke University of Liverpool, Inggris.
"Waktu itu saya sedikit kesulitan manajemen waktu karena beasiswa ini sangat singkat, hanya setahun, tidak boleh lebih," jelasnya.
Setelah lulus dari University of Liverpool pada 2007 dengan gelar Master of Arts (MA), Saiful kembali mengajar di Prodi Bahasa Inggris UIN Ar-Raniry.
Selama 3 tahun mengajar, Saiful kembali melanjutkan S3 dan mengambil gelar doktornya di Johann Wolfgeng Goethe Universitat, Jerman melalui beasiswa pemerintah Aceh pada tahun 2010.
Lulus dari Jerman pada tahun 2014, Saiful kembali mengajar di UIN Ar-Raniry pada tahun 2015 dan kini sudah menjabat sebagai Sekretaris Prodi di tempat ia dibesarkan dahulu.
"Intinya tetap percaya bahwa kita bisa mencapai apa yang kita impikan. Percayalah, mimpi yang berulang-ulang hadir akan berubah jadi kenyataan, apalagi mimpi positif," ungkap Saiful.
Kemudian saat ditanya tips lulus beasiswa ke luar negeri, Saiful mengatakan harus banyak berkontribusi sosial sejak dini, salah satunya dengan bergabung di organisasi kampus dan LSM di luar kampus.
"Kita pintar tetapi tidak punya kontribusi sosial, mereka susah terima kita. Karena mereka melihat efek setelah kita pulang. Tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk orang," kata Saiful.
"Namun tidak mungkin juga kalau organisasi bagus tetapi IPK kita jelek. Intinya, nilai akademik dan aktivitas sosial harus berimbang," tambahnya.
Saiful juga berpesan agar para calon pelamar beasiswa menyiapkan keterampilan menulis dan berkomunikasi sejak dini. Sebab hal ini sangat berpengaruh terhadap kriteria yang dibutuhkan pemberi beasiswa nantinya.
"Selanjutnya perluas jaringan, sering-sering ikut seminar dan pertemuan yang bersifat mengasah keterampilan," ujarnya.
Satu lagi, kata Saiful, jangan pernah bilang mau ke luar negeri tetapi tidak pernah cari informasi, tidak cari daftar kampus dan kebutuhan bahasa yang mereka persyaratkan sejak dini.
"Intinya harus progresif," imbuh pria kelahiran Banda Aceh, 1 Maret 1982 ini.
Selain mengajar sebagai dosen tetap di UIN Ar-Raniry, ia masih aktif berorganisasi dan menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Alumni Jerman di Aceh sejak 2018 hingga 2021 mendatang, sempat menjadi Direktur Aceh Institute (2015-2019).
Sebelumnya Saiful juga menjabat sebagai Senior Program Officer di ICAIOS atau Pusat Penelitian Aceh dan Samudera Hindia serta mendirikan Platform Padebook sebagai wadah untuk menerbitkan literatur lokal berbasis riset dan kajian mendalam.
Perjalanan panjang Saiful Akmal semenjak aktif di organisasi sebagai Presiden Mahasiswa UIN Ar-Raniry, kemudian melanjutkan studi ke negara-negara favorit di Eropa, lalu kembali ke Aceh dan menghidupi beberapa LSM, patut dijadikan panutan.
Sebab pada akhirnya, aktivitas sosial seperti organisasi dan LSM bukan hanya berdampak bagi orang lain melain meningkatkan kapasitas diri sendiri, membangun jaringan dan dihadapkan pada peluang-peluang besar nantinya. (Sara Masroni)