Senin, 22 September 2025
Beranda / Tajuk / 100 Tahun Hasan Tiro: Warisan, Nasionalisme, dan Masa Depan Aceh

100 Tahun Hasan Tiro: Warisan, Nasionalisme, dan Masa Depan Aceh

Senin, 22 September 2025 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro LL.D Ph.D. Foto; doc Murizal Hamzah


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Seratus tahun sejak kelahiran Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro LL.D Ph.D  pada 25 September 1925, nama itu tetap menjadi gema dalam sejarah modern Aceh. Hasan Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bukan sekadar sosok pejuang dan tokoh sentral secara politik ke Acehan. Ia adalah simbol: tentang harga diri, perlawanan, dan martabat orang Aceh.

Dalam hidupnya, Hasan Tiro memilih jalan terjal. Dari pengasingan di Swedia, ia memimpin perlawanan bersenjata dan perlawanan ideologi selama puluhan tahun. Dari sana pula ia menyalakan semangat yang menghidupkan ribuan kombatan di rimba Aceh. Tetapi sejarah berbelok: tsunami 2004 membuka pintu damai yang sebelumnya mustahil. Hasan Tiro memberi restu, dan lahirlah MoU Helsinki 2005. Konflik berakhir, senjata diturunkan, Aceh memperoleh otonomi khusus jalan tengah yang menyelamatkan martabat tanpa menambah derita.

Kini, warisan itu terasa ambivalen. Hasan Tiro meninggalkan jejak idealisme berupa nasionalisme ke-Acehan yang berakar pada identitas, syariat, dan integritas. Ia menolak perjuangan yang digerakkan oleh jabatan dan harta. Namun, dua dekade damai justru memperlihatkan wajah lain yakni pragmatisme politik, korupsi, dan kesejahteraan yang tak kunjung selesai. Aceh tetap salah satu provinsi termiskin di Sumatra meski triliunan rupiah Dana Otsus mengalir saban tahun. “Aceh tak jadi merdeka, tapi sejahtera juga tidak,” begitu keluhan yang berulang dari akar rumput.

Di sinilah ujian warisan Hasan Tiro. Nasionalisme Aceh hari ini tidak harus berarti mengibarkan bendera baru. Ia harus berarti menjaga martabat: memastikan rakyat keluar dari jerat kemiskinan, membangun pendidikan yang bermutu, serta menegakkan hukum yang bersih dari oportunisme. Nasionalisme itu harus menyala dalam wujud kerja nyata, bukan retorika atau simbol kosong.

Pemerintah Aceh punya tanggung jawab besar untuk mengelola otonomi dengan integritas. Pemerintah pusat pun dituntut konsisten pada janji-janji Helsinki. Dunia internasional yang dulu menjadi saksi juga layak terus mengawal agar perdamaian Aceh tak sekadar catatan sejarah, tapi model sukses resolusi konflik.

Momentum seratus tahun Hasan Tiro seharusnya menjadi titik refleksi. Aceh sudah melewati perang dan meraih damai. Tapi damai bukan tujuan akhir, ia hanya landasan. Yang ditunggu rakyat kini adalah keadilan dan kesejahteraan.

Hasan Tiro boleh tiada sejak 2010. Namun gagasannya tentang Aceh yang bermartabat tidak boleh padam. Menjaga perdamaian dengan nurani, membangun Aceh dengan keadilan, dan menyalakan nasionalisme yang inklusif adalah cara terbaik memuliakan seratus tahun kelahirannya.

Tajuk ini mengajak semua pihak elite lokal, pemerintah nasional, hingga masyarakat internasional untuk menepati janji sejarah untuk memastikan Aceh yang damai, bermartabat, dan sejahtera benar-benar terwujud. Warisan Hasan Tiro bukan kisah yang selesai. Ia adalah cerita yang menunggu kita tulis dengan keberanian moral, idealisme, dan kerja nyata [arn].

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bpka - maulid