kip lhok
Beranda / Tajuk / Netralitas Aparat Penegak Hukum, Pilar Demokrasi Pilkada Aceh 2024

Netralitas Aparat Penegak Hukum, Pilar Demokrasi Pilkada Aceh 2024

Jum`at, 29 November 2024 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Ilustrasi aparat penegak hukum. [Foto: Reuters/Beawiharta]


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Pilkada Aceh 2024 menjadi panggung penting untuk membuktikan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam setiap pesta demokrasi, netralitas aparat penegak hukum (APH) menjadi ujian utama, termasuk di Aceh, yang memiliki sejarah politik unik dan dinamis. 

Jika demokrasi adalah jembatan menuju keadilan, maka netralitas aparat adalah pilar penyangganya.

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan pentingnya netralitas ini dalam pernyataannya baru-baru ini. Menurutnya, integritas aparat menjadi syarat mutlak agar rakyat Aceh percaya pada proses dan hasil Pilkada. 

“Kami mengimbau aparat penegak hukum untuk tetap netral dan tidak terlibat dalam tindakan yang mencederai demokrasi. Suara rakyat Aceh harus dihitung dengan jujur dan transparan,” ujarnya, Kamis (28/11/2024).

Seruan tersebut menggema bukan tanpa alasan. Sejarah pemilu di Indonesia kerap dihantui isu kecurangan, terutama dalam proses penghitungan suara. Komisi Independen Pemilihan (KIP), kepolisian, dan semua pihak terkait memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan suara rakyat tetap murni tanpa intervensi.

Namun, menjaga netralitas bukan hanya tugas aparat. Ini adalah tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat. 

Seperti disampaikan oleh Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, menjaga integritas Pilkada adalah harga mati. 

“Saya mengajak seluruh pihak untuk tetap mengawal suara rakyat hingga tuntas. Jangan pernah bermain api dengan mencoba merusak demokrasi yang telah kita bangun bersama,” katanya.

Demokrasi Tak Hanya di Hari Pencoblosan

Pilkada tidak hanya diukur dari lancarnya proses pencoblosan, tetapi juga bagaimana suara rakyat dijaga dalam penghitungan berjenjang. 

Aryos Nivada, akademisi Universitas Syiah Kuala dan pengamat politik, mengingatkan bahwa celah kecurangan sering kali muncul di tahapan ini.

 “Keluhan masyarakat terkait potensi perubahan suara harus diantisipasi dengan pengawasan ketat. Jangan sampai suara rakyat yang disampaikan di TPS berubah di meja pleno,” katanya, Jumat (29/11).

Netralitas aparat, khususnya Polri, juga menjadi ujian profesionalisme mereka. Jika integritas ini dirusak oleh ketidaktegasan atau bahkan keterlibatan dalam kecurangan, dampaknya tidak hanya pada Pilkada Aceh, tetapi juga pada kepercayaan terhadap demokrasi di tingkat nasional.

Menjaga Suara Rakyat, Menjaga Demokrasi

Pilkada Aceh lebih dari sekadar ajang politik lima tahunan. Ia adalah cerminan bagaimana demokrasi dihormati, keadilan ditegakkan, dan suara rakyat dijaga. Setiap pihak, baik penyelenggara pemilu, aparat keamanan, maupun masyarakat, memiliki peran penting untuk memastikan proses berjalan dengan jujur dan transparan.

Seperti kata pepatah, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox Dei). Maka, tugas kita bersama adalah menjaga agar suara itu tetap murni, tanpa noda. 

Tidak ada ruang untuk kompromi terhadap kecurangan, karena demokrasi bukan milik segelintir orang, melainkan milik seluruh rakyat. Mari kita pastikan Pilkada Aceh 2024 menjadi contoh nyata bagaimana demokrasi bekerja dengan adil dan bermartabat. [red]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda