Air Cabai dan Ironi Pendidikan Pesantren
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
Ilustrasi santri disebuah pendidikan Pesantren. Foto: Jaazaidun
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Apa yang terjadi ketika tempat yang seharusnya menjadi pelabuhan ilmu berubah menjadi ruang penyiksaan? Sebuah pertanyaan getir yang kembali mencuat setelah beredarnya video memilukan dari sebuah pesantren di Aceh Barat. Seorang santri SMP, yang masih mencari jati diri di usia belianya, menjadi korban kebrutalan yang dibungkus kedok "pendidikan": tubuhnya memerah dan bengkak setelah disiram air cabai, dicukur paksa, dan dipaksa menelan cabai giling - sebuah hukuman yang bahkan akan membuat para pelaku penyiksaan di penjara-penjara abad pertengahan tersipu malu.
Kesalahannya? Merokok. Sebuah kenakalan remaja yang, meski tidak dibenarkan, adalah bagian dari fase eksplorasi yang nyaris tak terpisahkan dari masa pubertas. Di tangan pendidik yang bijak, momen seperti ini bisa menjadi titik awal dialog bermakna. Namun di tangan mereka yang kehilangan nurani pendidik, ia menjadi pembenaran bagi tindakan barbar yang mencoreng wajah pendidikan Islam.
Ironi ini semakin menusuk mengingat kejadian tersebut berlangsung di Aceh, wilayah yang begitu bangga menyandang gelar "Serambi Mekkah". Di tanah yang konon kental dengan nilai-nilai syariat, seorang anak justru mengalami perlakuan yang bahkan sulit dibayangkan oleh mereka yang hidup di era jahiliyah. Lebih menyedihkan lagi, pelakunya adalah istri pimpinan pesantren - sosok yang seharusnya menjadi teladan dalam mengejawantahkan prinsip "rahmatan lil 'alamin".
Muhammad Qodrat dari YLBHI-LBH Banda Aceh menyebutnya sebagai tindak pidana penganiayaan anak. Namun kategorisasi hukum ini terasa terlalu sempit untuk menggambarkan dimensi tragedi yang sebenarnya. Yang terluka di sini bukan hanya tubuh sang santri, tapi juga ruh pendidikan Islam itu sendiri. Setiap tetes air cabai yang membakar kulit anak itu adalah simbol bagaimana sebagian lembaga pendidikan kita telah kehilangan arah, terjebak dalam paradigma kekerasan yang justru bertentangan dengan esensi ajaran yang mereka dakwahkan.
Respons dari Kepala Pendidikan Dayah Aceh, Munawar A. Jalil, yang berjanji membentuk tim investigasi patut diapresiasi. Tetapi jangan biarkan ini menjadi sekadar ritual birokrasi yang berakhir dengan laporan berdebu di atas meja. Yang dibutuhkan adalah revolusi paradigma: transformasi total cara pandang tentang pendidikan di pesantren. Sudah terlalu lama beberapa pesantren kita terjebak dalam dikotomi salah antara ketegasan dan kekerasan, antara disiplin dan dehumanisasi.
Fajran Zain, politisi Partai Aceh, menyentuh inti persoalan ketika mengatakan bahwa pesantren seharusnya menjadi patron tarbiyah yang penuh akhlak dan adab. Tapi bagaimana mungkin mengajarkan akhlak dengan cara yang justru menihilkan adab? Bagaimana mungkin menanamkan nilai-nilai Islam dengan metode yang justru mencabik-cabik prinsip dasar kemanusiaan yang dimuliakan Islam?
Aceh, yang kini berjuang keras menepis stigma negatif tentang perlindungan anak dan perempuan, harus menjadikan tragedi ini sebagai titik balik. Momentum untuk membuktikan bahwa tradisi kekerasan di lembaga pendidikan bukan takdir yang tak terelakkan, melainkan noda yang harus dan bisa dihapus.
Kita tak butuh pesantren yang menghasilkan generasi trauma. Yang kita butuhkan adalah lembaga pendidikan yang mampu menghadirkan Islam sebagaimana ia seharusnya: agama yang memuliakan manusia, bukan merendahkannya; yang mendidik dengan hikmah, bukan hinaan; yang membangun dengan kasih sayang, bukan kekerasan.
Karena pada akhirnya, pesantren yang kehilangan kelembutan adalah pesantren yang kehilangan jiwanya. Dan pendidikan agama tanpa kemuliaan akhlak adalah pendidikan yang telah kehilangan Tuhannya.
Biarkan kasus ini menjadi air cabai yang membangunkan kesadaran kita semua. Bahwa sudah terlalu lama kita membiarkan sebagian "pendidik" menukar tongkat kayu dengan cambuk api, mengira diri sedang menegakkan disiplin, padahal sedang menghancurkan masa depan.