Bakal Pemimpin Aceh Harus Mampu Membaca Al-Quran
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
Ilustrasi Pemimpin Aceh harus bisa membaca Alquran. [Foto: Antara Foto/Yulius Satria Wijaya]
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Aceh adalah negeri bersyariat, negeri yang mendapat keistimewaan untuk menentukan kriteria pemimpin. Untuk menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati, Walikota dan wakilnya, serta mereka yang duduk di parlemen harus memiliki kriteria khusus.
Kriteria khusus itu; beragam Islam, taat menjalankan syariat dan mampu membaca Alquran. Muslim/ Muslimah Aceh di Aceh harus mampu membaca Alquran dengan baik, mahkrajul hurufnya jelas, tartil dan tajwid dia fahami.
Walau tidak harus menjadi qari dan qariah, namun sebagai muslim atau muslimah mereka harus mampu membaca Alquran apalagi dia menjadi seorang pemimpin. Orang Aceh akan malu bila mereka tidak mampu membaca kitab suci Alquran.
Dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh, salah satu syarat yang menjadi perhatian publik adalah kemampuan membaca Al-Quran bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati.
Apalagi ketika tes baca Alquran itu disiarkan secara langsung, didokumentasikan dengan baik, sehingga video tes baca Alquran itu dapat dilihat publik. Mereka akan memberikan penilaian tentang sosok calon pemimpin mereka dalam membaca Alquran.
Kemampuan membaca Alquran bukan sekadar formalitas, melainkan cerminan kualitas diri seorang pemimpin di Bumi Serambi Mekah.
Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016, calon pemimpin di Aceh harus memenuhi tiga kriteria utama: beragama Islam, taat menjalankan syariat, dan mampu membaca Al-Quran dengan baik.
Syarat terakhir ini acap kali menjadi perdebatan, terutama ketika ada calon yang dianggap tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Hingar bingar pembahasan calon pemimpin setelah menyaksikan tes baca Alquran menjadi konsumsi publik.
Membaca Al-Quran dengan baik, dari segi makharijul huruf, tartil, dan tajwid, adalah manifestasi ketaatan seorang Muslim dalam menjalankan agamanya. Ini bukan hanya sekadar formalitas, melainkan cerminan kualitas diri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin di Aceh.
Pemimpin Aceh tidak hanya dituntut untuk cakap dalam mengelola pemerintahan, tetapi juga harus menjadi panutan dalam praktik keagamaan. Jika seorang calon pemimpin tidak mampu memenuhi syarat dasar ini, maka bagaimana mungkin ia dapat membimbing masyarakat Aceh untuk taat beragama?
Kualitas diri dalam beragama, khususnya kemampuan membaca Al-Quran, adalah pondasi yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin di Aceh. Rakyat Aceh berhak mendapatkan sosok pemimpin yang tidak hanya cakap secara manajerial, tetapi juga memiliki kualitas keagamaan yang baik.
Dengan teknologi saat ini publik bisa memberikan penilaian tentang sosok pemimpin mereka, apakah muslim yang baik untuk menjadi tauladan dalam menjalankan syariat Islam di Aceh.
Kemampuan membaca Alquran walau tidaklah harus menjadi qari, qariah atau menjadi imam di masjid dan muenasah, namun dia faham mahkrajul huruf, mengerti tajwid, sebagai muslim minimal dia bisa menjadi imam “dadakan”. Lancar kaji karena diulang.
Masa depan Aceh bergantung pada pemimpin yang mampu menjadi teladan, tidak hanya mampu dalam mengelola pemerintahan, tetapi juga dia mampu dalam menjalankan syariat Islam. Mampu managerial namun tidak mampu membaca Alquran tidak layak menjadi pemimpin di Aceh.
Kemampuan membaca Al-Quran dengan baik adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap calon pemimpin di Aceh. Publik akan memberikan penilaian dan menentukan pilihan terhadap calon pemimpin mereka yang bertarung di Pilkada.
Apakah pemimpin itu hanya mampu manjerial, namun belum mampu membaca Alquran dengan baik. Atau ahli dalam urusan pemerintah namun taat juga beribadah, mampu menjadi tauladan, inilah pemimpin harapan ummat.
Kualitas seorang pemimpin tidak mampu disulap, apalagi dalam persoalan membaca Alquran. Bila seseorang mencintai Alquran dan rajin membacanya, Alquran juga akan memberikan cinta kasihnya, sesorang itu akan mampu membacanya.
Namun bila Alquran jarang disentuh, jarang dibaca, hanya menjadi pajangan dalam lemari, ketika diuji untuk membacanya, seseorang akan terbata-bata, bagaikan belajar kembali untuk mengejanya.
Rumput di jalan tidak akan tumbuh bila sering dilalui. Demikian dengan membaca Alquran, bila sering dibaca dan kitab suci ini dijadikan pedoman, seorang itu akan dekat denganya dan dimudahkan sang pencipta untuk membaca dan memahaminya. Lancar kaji karena diulang. [red]