DIALEKSIS.COM | Tajuk - Di antara gema azan dan derap langkah aparat, terbentang tanah lapang yang menjadi saksi banyak peristiwa. Blangpadang bukan sekadar hamparan rumput di jantung Banda Aceh. Ia adalah ruang ibadah tak langsung, tempat masyarakat berziarah waktu, berolahraga, berkumpul, bahkan bersujud dalam salat berjamaah saat hari besar Islam. Tapi kini, tanah ini tak hanya memanggil jemaah -- ia juga menjerat kita pada pertanyaan pelik: milik siapa sesungguhnya Blangpadang?
Isu ini mencuat lagi setelah Gubernur Aceh pada 17 Juni 2025 menyurati Presiden Republik Indonesia. Dalam surat itu, tanah Blangpadang secara tegas disebut sebagai tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman. Sebuah klaim yang bukan tanpa dasar, karena sepanjang 15 tahun terakhir, banyak langkah administratif dan historis yang membuktikan bahwa tanah ini adalah bagian dari warisan keagamaan dan sejarah Aceh.
Sejak 2009, Surat Demi Surat
Upaya resmi untuk mengamankan status tanah ini sudah dilakukan sejak tahun 2009. Pemerintah Aceh ketika itu mendaftarkannya ke Kantor Pertanahan Banda Aceh untuk memperoleh sertifikat hak pakai. Tapi niat itu terhalang. Pihak TNI lewat dua surat menyampaikan sanggahan.
Langkah-langkah lanjutan terus diambil. Pada 2010, usai mengantongi dukungan dari 23 kabupaten/kota Gubernur Aceh meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan sertifikat. Namun langkah BPN terhenti karena menemukan simbol militer yang diduga dipasang oleh pihak TNI.
Pada tahun 2013, Gubernur Aceh melalui surat nomor 590/44699 tanggal 30 September 2013 meminta Presiden RI untuk menyelesaikan sengketa tanah Blangpadang. Namun hasilnya sama: senyap.
Baru pada 2022, arah perjuangan berubah: Pemerintah Aceh memutus melakukan pendekatan dokumen.
Namun, pihak TNI tampaknya bergerak cepat. Pada 2021, pihak TNI memperoleh mandat dari Kementerian Keuangan. Melalui Surat Keputusan Nomor KMK-193/KM.6/WKN.1/KNL.01/2021 tanggal 24 Agustus 2021 menetapkan Kementerian Pertahanan ditetapkan sebagai pengguna barang (PB), yang kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada TNI AD selaku Kuasa Pengguna Barang (KPB).
Meski begitu, Direktorat Jendral Kekayaan Negara pada 17 Februari 2022 masih mencoba melakukan mediasi terkait aset tumpang tindih Barang Milik Daerah.
Akhirnya, pada Maret 2023 misi pencarian dokumen diutus ke Belanda. Upaya ini berpijak pada pendekatan sejarah dan warisan Kesultanan Aceh.
Dengan dokumen yang lebih kuat, Pemerintah Aceh melalui Sekretaris Daerah menyurati Kepala Kantor Pertahanan Banda Aceh menyampaikan kelengkapan dokumen dan fakta sejarah guna sertifikasi tanah Blang Padang. Surat itu ber-Nomor 028/5179 tanggal 27 Maret 2023.
Di tahun 2024, DPRA dalam Paripurna 15 Juli 2024 kembali mengangkat laporan BPK RI yang ikut menyampaikan temuan status wakaf Sultan pada Blang Padang, sebagaimana juga Blang Punge dari hasil pencarian data di Belanda dan juga upaya-upaya yang sudah pernah ditempuh oleh Pemerintah Aceh.
Dan kini, pada 2025, Gubernur Aceh kembali bersuara. Dalam surat nomor 400.8/7180, ia mengingatkan bahwa tanah Blang Padang bukan sekadar persoalan aset, tetapi bagian dari tanah wakaf keagamaan.
Ketika Wakaf Diabaikan
Satu pertanyaan yang mengusik nurani kita adalah: bagaimana mungkin tanah wakaf, yang dalam hukum Islam dan perundangan nasional dilindungi secara tegas, bisa bertahun-tahun digantungkan tanpa kepastian?
Jika tanah Blangpadang adalah bagian dari tanah Masjid Raya Baiturrahman, maka bukan hanya aspek hukum yang dilanggar, tapi juga nilai spiritual dan martabat umat. Wakaf bukanlah hibah untuk diserahkan kepada kepentingan negara atau militer. Ia adalah janji suci antara pemberi dan Tuhan -- dan negara seharusnya menjadi penjaga, bukan pengambilnya.
Menanti Keberanian Politik
Pemerintah Aceh telah menempuh jalur konstitusional, administratif, bahkan historis. Jika pemerintah pusat terus menunda atau mengabaikan, maka ini bukan lagi soal aset -- melainkan pengkhianatan terhadap sejarah dan amanah rakyat Aceh.
Tanah ini tak bisa bicara, tapi ia menyimpan ingatan. Ia tahu kapan rakyat sujud, kapan prajurit berjaga, dan kapan negara diam.
Kini tinggal satu hal yang belum datang: keberanian politik untuk memutuskan. Untuk memilih apakah tanah ini tetap digantung di antara salat dan sengketa, atau dikembalikan ke asalnya: sebagai wakaf umat, warisan sejarah, dan ruang publik yang suci. [red]