Bustami- Jokowi : Sekeping Foto, Seribu Tafsir Politik
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Beredarnya foto-foto pertemuan antara Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah dengan Presiden Joko Widodo saat transit di Aceh sebelum berangkat ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), telah menuai berbagai spekulasi. Fenomena ini menyoroti bagaimana sebuah momen protokoler dapat bertransformasi menjadi arena pertarungan makna dalam lanskap politik Aceh yang dinamis.
Dalam kacamata semiotika politik, publikasi strategis foto ini merepresentasikan lebih dari sekadar dokumentasi pertemuan. Ia menjadi apa yang Roland Barthes sebut sebagai "teks" yang sarat dengan pesan tersirat, dalam hal ini sugesti dukungan Presiden Jokowi terhadap Bustami Hamzah untuk Pilkada Aceh 2024. Namun, seperti diingatkan oleh Dan Nimmo, pemaknaan pesan politik seringkali bersifat subjektif dan tergantung pada frame of reference penerima pesan.
Strategi komunikasi ini mencerminkan konsep "politik spektakel" Murray Edelman, di mana citra digunakan untuk membentuk persepsi publik, terlepas dari substansi kebijakan. Foto tersebut berfungsi sebagai "pseudo-environment" Walter Lippmann - realitas buatan yang berpotensi mempengaruhi opini publik Aceh.
Perlu dicatat bahwa justifikasi rasional atas interpretasi ini sulit dilakukan karena keterbatasan data dan informasi komprehensif. Situasi ini mengingatkan pada konsep "manufactured consent" Noam Chomsky, di mana opini publik diarahkan melalui manipulasi informasi selektif.
Fenomena ini juga relevan dengan teori agenda-setting McCombs dan Shaw. Publikasi foto strategis ini dapat dilihat sebagai upaya menempatkan isu dukungan Jokowi dalam agenda publik Aceh, meskipun substansinya belum tentu akurat.
Lebih jauh, kita menyaksikan apa yang Jean Baudrillard sebut "hiperealitas" - di mana batas antara realitas dan representasi menjadi kabur. Foto pertemuan transit yang seharusnya rutin kini berpotensi mengambil alih narasi politik yang lebih luas.
Sebagai masyarakat kritis, kita ditantang mengembangkan "multiple literacies" seperti yang diajukan Douglas Kellner - kemampuan membaca tidak hanya teks, tetapi juga konteks dan subteks dalam lanskap media yang kompleks. Kewaspadaan terhadap upaya penggiring opini yang tidak berbasis data solid menjadi krusial.
Akhirnya, beredarnya foto pertemuan Bustami Hamzah bersama Jokowi ini menjadi pengingat akan urgensi transparansi dalam komunikasi politik dan pentingnya pendidikan politik substantif di Aceh. Alih-alih terjebak permainan citra untuk masyarakat Aceh, eh malahan terjebak membuat kirdil cara pihak tertentu dalam upaya penggiringan opini publik, bahkan menjatuhkan personal objek yang dimainkan dalam teknik komunikasi politik berbasis hanya sebatas foto semata. Itulah cara tak bijak ketika ingin membangun keyakinan publik Aceh namun menuai negatif campaign terhadap respon publik Aceh.