Festival Ramadhan yang Sesungguhnya
Font: Ukuran: - +
Ada anak bertanya pada bapaknya
buat apa berlapar-lapar puasa
ada anak bertanya pada bapaknya
tadarus tarawih apalah gunanya
Sepotong lirik lagu Bimbo itu mungkin baru saja, atau, pernah dulu Anda dengarkan sambil beraktivitas di bulan suci Ramadhan.
Jika diperhatikan, sebait lagu itu memiliki makna mendalam: apa target yang harus kita raih di bulan Ramadhan?
Ada berbagai pilihan aktivitas dalam menyemarakkan bulan suci Ramadhan, selain memenuhi rukun islam ketiga bagi setiap muslim (yang beriman khususnya). Mulai dari pemerintah hingga ke personal.
Di Serambi Mekkah tahun ini, Pemerintah Aceh menjadikan Ramadhan sebagai bulan untuk syiar dan syair. Digelarlah Festival Ramadhan. Berlangsung pada 7 - 22 Mei 2019 di Taman Budaya, Banda Aceh.
Festival Ramadhan mengusung sebuah syiar: mengampanyekan Aceh sebagai destinasi wisata halal unggulan di Indonesia. Dalam bersyiar, tentu saja dibawakan sejumlah syair, guna menarik perhatian orang.
Syair islam itu disampaikan dalam berbagai wujud. Sebut saja penampilan tarian, pertunjukan musik, lapak kuliner tradisional, dan kegiatan islami lainnya. Event yang dimotori Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh ini menargetkan kunjungan wisatawan ke Aceh selama bulan Ramadhan.
"Kita harus mempertegas jati diri sebagai daerah yang menerapkan hukum Syariat Islam dan jika itu kita kemas lalu dipromosikan berpotensi meningkatkan kunjungan wisatawan," kata Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah saat membuka acara tersebut.
Di luar instansi pemerintahan, kita akan menemui banyak program yang menjadi target individu dan lembaga dalam menyemarakkan Ramadhan. Pesantren Kilat, Program Tahfiz, Tadarus, Berbagi Takji, Safari Ramadhan, hingga secara personal menjadikan Ramadhan sebagai bulan khatam Alquran (karena sulit bagi muslim menamatkan bacaan Kitab Suci ini di selain bulan puasa).
Terus,
kalau ada anak bertanya pada bapaknya,
buat apa Festival Ramadhan,
kalau ada anak bertanya pada bapaknya,
Safari Ramadhan apalah gunanya?
kalau setelah Ramadhan perilaku kita masih sama saja seperti sebelumnya.
Untuk menjawab seandainya ada yang bertanya seperti itu, kita lihat dulu pengertian festival. Asalnya dari Bahasa Latin yaitu kata dasar "festa" atau pesta dalam Bahasa Indonesia.
Festival biasanya dimaknai sebagai "pesta besar" atau sebuah acara meriah yang diadakan dalam rangka memperingati sesuatu atau dalam rangka peringatan peristiwa penting.
Jika bulan Ramadhan dijadikan festival oleh Pemerintah Aceh, itu sangat market-able dengan positioning Aceh sebagai destinasi wisata halal unggulan nasional. Pesta besar yang menampilkan simbol islam dalam bentuk sejumlah atraksi kontemporer yang temporary.
Namun bila mau mengkaji lebih dalam, Festival Ramadhan yang sesungguhnya adalah ketika setiap individu muslim mampu menjadikan bulan Ramadhan sebagai media mengubah diri menjadi lebih baik.
Logikanya simpel. Jika masyarakat Aceh selama 30 hari ini mampu mengubah perilakunya, dengan berbagai kadar kekurangannya, menjadi lebih baik setelah melalui ibadah Ramadhan, dan dilanjutkan pada bulan-bulan selanjutnya, itu sebuah kesuksesan besar. Seandainya Pemerintah Aceh ambil peran ini lalu berhasil, tidak cukup dua jempol patut kita berikan!
Kenapa kita harus berubah? Karena kemajuan suatu negeri dimulai dari perilaku, yang bermula dari pola pikirnya. Ubah dulu pikiran menjadi positif-minded, kemudian hasilnya barulah tampak dari ucapan, hingga perbuatannya.
Para ilmuwan mengemukakan, untuk mengubah suatu perilaku negatif menjadi positif, dibutuhkan waktu antara 21 - 66 hari secara berturut-turut.
Kiat paling populernya, butuh 21 hari untuk mengubah suatu perilaku atau kebiasaan buruk menjadi lebih baik. Riset ini dikemukakan Dr. Maxwell Maltz dalam buku Psychocybernetics pada tahun 60-an. Namun cukupkah tiga minggu untuk mengubah sebuah kebiasaan buruk kita?
Ada studi terbaru diungkapkan pada 2009, hasil penelitian Phillippa Lally dari University College London yang dipublikasikan dalam European Journal of Social Psychology.
Kita memerlukan waktu 18-254 hari untuk mengubah sebuah kebiasaan. Namun rata-rata kita hanya perlu 66 hari atau dua bulan untuk mengubah kebiasaan.
Bulan Ramadhan semestinya menjadi ajang bagi kita untuk memperbaiki diri, dimulai dari mindset hingga berwujud pada perilaku atau kebiasaan kita.
Frekuensi mengubah sebuah kebiasaan mungkin tergantung dengan kadar habitnya. Jika bad habit yang sudah kronis, tentu berbeda dengan upaya memoles habit sederhana.
Namun dalam konteks Ramadhan 1440 hijriyah ini, anggap saja kita punya waktu dua bulan.
Sebulan pertama selama Ramadhan, digunakan untuk instalasi habit baru yaitu hapus kebiasaan buruk dan install kebiasaan baik. Sisanya membentuk habit yang sudah baik itu menjadi terbiasa secara permanen. Sehingga habit baru akan terprogram otomatis dan berjalan segampang seorang pria Indonesia menyesap rokok usai meneguk kopi hitam.
Anda yang sudah terbiasa shalat berjamaah dengan saf yang teratur di masjid perkotaan, tiba-tiba syok saat shalat berjamaah di sebuah kampung pada bulan Ramadhan dengan saf yang amburadul.
Anda tidak akan bisa mengubah para jamaah itu dalam satu malam. Para jamaah tersebut mungkin jarang shalat berjamaah sehingga sulit terbentuk kebiasaan baru membetulkan saf antarsesama jamaah.
Sebuah hal sepele tapi harus diingatkan oleh imam setiap kali hendak mendirikan shalat. Itu contoh simpel. Belum lagi dengan kebiasaan kita sehari-hari.
Sebagai orang Aceh yang tinggal di daerah yang notabene destinasi wisata halal unggulan, sebaiknya kita jadikan Ramadhan ini sebagai bulan untuk memperbaiki diri dari dalam (inner beauty).
Jika good habit ini sudah terpatri dalam diri masyarakat Aceh, jangankan Festival Ramadhan, festival apa saja yang digelar di Aceh akan mendatangkan banyak wisatawan.
Mari kita merenung apa yang sudah kita lakukan selama ini di Aceh. Bila ada yang salah dengan sikap dan perilaku kita, tidak ada salahnya pada bulan yang penuh ampunan ini kita perbaiki diri. Semoga kita semakin hari semakin baik.(Redaksi)