Gebrakan MK dan Tantangan Demokrasi Indonesia
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Mahkamah Konstitusi (MK) membuat langkah monumental dengan membatalkan aturan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR. Putusan ini membongkar ketentuan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sekaligus membuka jalan bagi semua partai politik untuk mencalonkan presiden tanpa batasan. Langkah progresif ini patut diapresiasi, tetapi tidak lepas dari tantangan besar bagi demokrasi Indonesia.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden bukanlah jaminan hadirnya sistem politik yang lebih demokratis. Sistem pemilu yang lebih terbuka memang diperlukan, namun itu belum cukup untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar dalam politik kita.
Fenomena politik uang dan populisme, misalnya, masih menjadi momok besar yang menggerogoti demokrasi. Kesadaran pemilih yang kerap terpengaruh oleh pencitraan dan uang justru bisa memperbesar dominasi media dan kapital dalam kontestasi politik.
Selain itu, putusan ini berpotensi menimbulkan dinamika baru dalam relasi legislatif dan eksekutif. Jika presiden terpilih berasal dari partai kecil tanpa dukungan kuat di parlemen, stabilitas pemerintahan bisa terganggu. Sistem politik kita yang masih didominasi praktik transaksional menjadi tantangan serius untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan benar-benar demokratis.
Namun, di balik tantangan tersebut, putusan ini juga membawa angin segar bagi pluralitas politik Indonesia. Penghapusan presidential threshold mengoreksi dominasi partai besar yang selama ini meminggirkan suara partai kecil, termasuk partai lokal. Hal ini mencerminkan keberagaman politik yang seharusnya menjadi wajah demokrasi Indonesia. MK, melalui langkah ini, menunjukkan keberanian sebagai pelopor perubahan dengan dasar judicial activism yang kuat.
Meski begitu, peluang ini harus diiringi pengawasan ketat terhadap praktik politik uang dan penggunaan media untuk memanipulasi opini publik.
Tanpa regulasi dan edukasi politik yang memadai, kita hanya akan mengganti satu bentuk monopoli politik dengan monopoli lain: uang dan media. Edukasi bagi pemilih agar memilih berdasarkan kapasitas dan visi calon, bukan sekadar pencitraan, menjadi pekerjaan rumah yang mendesak.
Keberanian MK mengambil langkah ini adalah momen penting untuk mendorong demokrasi yang lebih inklusif dan adil. Putusan ini seharusnya menjadi batu loncatan untuk reformasi politik yang lebih luas, bukan hanya sekadar simbol perbaikan sistem.