DIALEKSIS.COM | Tajuk - Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon, patut diapresiasi atas langkah progresifnya menjadikan film sebagai alat diplomasi kebudayaan. Gagasannya untuk memproduksi film kolaborasi Indonesia - Turki yang mengangkat hubungan Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman bukan sekadar proyek hiburan, melainkan upaya strategis memosisikan budaya sebagai simpul persahabatan antarbangsa. Namun, ambisi ini harus dibarengi dengan keseriusan menjaga akurasi sejarah, menghindari politisasi, serta memastikan narasi lokal Aceh tidak tenggelam dalam romantisme global.
Inisiatif Fadli Zon menawarkan dua peluang sekaligus. Pertama, film bertema sejarah berpotensi menjadi medium literasi bagi generasi muda yang kerap tercerabut dari akar budayanya. Kedua, kolaborasi internasional ini dapat menjadi pintu masuk industri film Indonesia ke pasar global, terutama jika didukung peningkatan kapasitas sineas lokal dan distribusi yang masif. Lebih dari itu, kerja sama dengan Turki membuka ruang pertukaran pengetahuan, teknologi perfilman, dan diplomasi budaya yang selama ini belum tergarap maksimal.
Namun, Aceh sebagai titik sentral narasi tidak boleh hanya menjadi latar belakang. Sejarah hubungan Aceh - Ottoman bukan sekadar kisah bantuan militer, melainkan pertukaran intelektual, spiritual, dan budaya yang melampaui batas geografis. Jika film ini hanya mengeksploitasi romantisme perlawanan terhadap kolonialisme tanpa mengurai kompleksitas relasi tersebut, ia berisiko menjadi propaganda dangkal yang mengabaikan suara masyarakat Aceh.
Di sinilah tantangan terbesar proyek ini: bagaimana memadukan kepentingan politik budaya dengan tanggung jawab historis. Fadli Zon perlu memastikan tim produksi melibatkan sejarawan lokal, seniman Aceh, dan akademisi lintas disiplin. Tanpa partisipasi aktif mereka, film ini berpotensi terjebak dalam fetisisme sejarah ala kolonial di mana kisah heroik dijadikan komoditas, sementara konteks sosio-kultural dikubur dalam narasi yang bias.
Peringatan ini penting, mengingat Aceh memiliki segudang cerita yang belum terangkat: dari peran ulama perempuan Turki dalam penyebaran Islam di Nusantara hingga pertukaran manuskrip keilmuan antara Banda Aceh dan Istanbul. Sayangnya, sejarah semacam ini kerap terpinggirkan dalam narasi besar hubungan Indonesia - Turki yang cenderung militeristik.
Masyarakat Aceh tentu berharap proyek ini tidak sekadar jadi alat pencitraan pemerintahan baru. Sebagai daerah yang berkontribusi besar dalam pembentukan identitas Indonesia, Aceh berhak menuntut transparansi proses kreatif dan distribusi manfaat ekonomi dari film tersebut. Pemerintah wajib memastikan industri film berbasis sejarah ini tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite, tetapi juga menjadi sarana pemberdayaan masyarakat lokal melalui pelatiran aktor, pembukaan lapangan kerja, dan pengembangan infrastruktur pendukung.
Di sisi lain, Kementerian Kebudayaan perlu menghindari simplifikasi sejarah. Riset mendalam harus dilakukan untuk memastikan setiap adegan memiliki dasar akademis yang kuat. Jangan sampai film ini mengulang kesalahan produksi-film sejarah sebelumnya yang mengorbankan fakta demi dramatisasi.
Jika dikelola dengan integritas, film kolaborasi ini bisa menjadi jembatan budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Ia tidak hanya akan mengedukasi generasi muda tentang ketangguhan nenek moyang, tetapi juga memperkuat pondasi persahabatan Indonesia-Turki di tengah dinamika geopolitik global.
Namun, semua itu hanya mungkin terwujud jika Fadli Zon konsisten menjadikan Aceh sebagai mitra setara bukan sekadar objek eksotisme. Momentum ini adalah ujian bagi pemerintah: apakah mereka sanggup mengubah retorika kebudayaan menjadi aksi nyata, atau justru terjatuh dalam pragmatisme politik jangka pendek? Jawabannya ada di tangan menteri yang kerap disebut "pencinta sejarah" ini.
Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer: "Sejarah ditulis oleh para pemenang." Kali ini, biarkan sejarah Aceh-Ottoman ditulis oleh mereka yang hidup dalam warisannya.