Beranda / Tajuk / Kepung Jakarta: Orkestra Politik dalam Panggung Pilkada Aceh

Kepung Jakarta: Orkestra Politik dalam Panggung Pilkada Aceh

Kamis, 11 Juli 2024 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Monas di Jakarta/Foto: net

DIALEKSIS.COM | Tajuk - Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, Aceh memainkan simfoni tersendiri menjelang Pilkada 2024. Parade elit lokal yang berbondong-bondong menuju Jakarta bukan sekadar ritual politik biasa, melainkan sebuah pergelaran dramatis yang mencerminkan paradoks otonomi daerah atau daerah khusus di negeri ini.

Fenomena "kepung Jakarta" oleh para bacalon gubernur Aceh merupakan manifestasi dari sentralisasi kekuasaan yang masih mengakar kuat. Batavia, sebagai panggung utama, menjadi arena pertarungan di mana nasib politik daerah dirajut dan ditentukan. Ironi ini menggambarkan betapa desentralisasi politik masih menjadi utopia di tengah realita kekuasaan yang terkonsentrasi.

Manuver politik yang dilakukan oleh figur-figur seperti TM Nurlif, Bustami Hamzah, dan Muzakir Manaf, serta anggota parlemen seperti Nasir Djamil, maupun pengusaha Muhammad Nazar dan Rektor UUI Prof. Adjunct Dr. Marniati, bukan hanya sekadar upaya meraih tiket partai. Ini adalah pertaruhan eksistensi dan relevansi mereka dalam konstelasi politik Aceh yang dinamis.

Teori ketergantungan pusat-daerah yang dikemukakan oleh Myrdal terefleksikan dengan jelas dalam drama politik ini. Jakarta, sebagai pusat gravitasi kekuasaan, menarik para elit daerah ke dalam orbitnya, menciptakan ketidakseimbangan dalam ekosistem politik lokal. Fenomena ini bukan hanya tentang mekanisme formal pencalonan, tetapi juga tentang tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah.

Dalam kalkulasi politik yang rumit, pembagian 81 kursi DPRA menjadi medan pertempuran tersendiri. Potensi munculnya tiga hingga empat poros politik mencerminkan kompleksitas lanskap politik Aceh. Namun, di balik angka-angka ini, tersembunyi narasi yang lebih dalam tentang representasi dan legitimasi kekuasaan.

Akhirnya, "kepung Jakarta" bukan sekadar istilah bombastis. Ia adalah metafora yang kuat tentang dinamika kekuasaan dalam sistem politik kita. Apakah ini merupakan langkah strategis untuk mewujudkan aspirasi rakyat Aceh, atau hanya sekadar teater politik yang mempertontonkan ketergantungan daerah pada pusat?

Saat tirai panggung politik ini akhirnya turun, kita akan menyaksikan apakah orkestra politik ini menghasilkan harmoni pembangunan atau hanya cacophony kekuasaan. Di sinilah letak tantangan sejati bagi para pemimpin Aceh: mentransformasikan manuver politik menjadi kebijakan yang benar-benar menyentuh kehidupan rakyat.

Dalam epilog drama politik ini, Jakarta mungkin memegang kunci, tapi Aceh-lah yang harus menentukan melodi masa depannya sendiri. Semoga langkah "kepung Jakarta" ini bukan hanya menjadi ajang unjuk gigi elit, melainkan awal dari sebuah simfoni pembangunan yang harmonis antara pusat dan daerah.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda