Selasa, 24 Juni 2025
Beranda / Tajuk / Ketika Ingatan Berlaga di Meja Sejarah

Ketika Ingatan Berlaga di Meja Sejarah

Senin, 23 Juni 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

Hamid Awaluddin dan Malik Mahmud berjabat tangan usai menandatangani MOU Helsinki [Foto: Wikipedia]


DIALEKSIS.COM | Tajuk - Aceh kembali gemuruh. Baru saja debu sengketa pulau mengendap, tanah rencong ini dihempas gelombang baru: perang narasi tentang lembaran suci perdamaian Helsinki. Siapa sesungguhnya yang berhak menorehkan namanya dalam babak penentu sejarah Aceh itu? 

Kontroversi yang tersulut di studio Indonesia Lawyers Club (20/6/2025) oleh pernyataan tegas Prof. Hamid Awaluddin, mantan Menkumham dan Ketua Tim Perunding Pemerintah Indonesia, telah merembes ke ruang publik, menguji ketahanan ingatan kolektif tentang momen genting dua dekade silam.

Hamid, dengan kewibawaan sang penandatangan MoU, menyangkal keras kehadiran Munawar Liza Zainal sebagai anggota inti tim perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM). "Soalnya saya tidak pernah melihat Bapak selama perundingan," ujarnya, kalimat singkat yang bagai batu dilempar ke kolam tenang, memecah permukaan menjadi riak-riak debat yang tajam. Bantahan Munawar Liza pun datang tak kalah sengit.

Melalui Dialeksis, ia membeberkan arsitektur tim GAM yang lebih kompleks dari sekadar lima nama inti. Ia menyebut fase-fase negosiasi dengan nama seperti Ramasamy (Malaysia) dan William Nessen (AS), kemudian masuknya dirinya bersama Irwandi Yusuf dan Shadia Marhaban di paruh penutup.

"Bagaikan tim sepak bola. Bukan cuma pemain lapangan, tapi juga pelatih, dokter, bahkan tukang urut semua anggota tim," analoginya bernada getir, seraya menguatkan klaim dengan fragmen personal: kehadirannya dalam state banquet pasca-penandatanganan, duduk bersebelahan dengan Dubes RI untuk Finlandia, I Gusti Agung Wesaka Puja.

Tak lupa, kritik pedas dilayangkan,"Itulah ego Hamid! Usai MoU, ia buru-buru pulang jarang pantau Aceh... Kita jangan lupa mereka (tim Indonesia) dulu musuh di meja perunding. Kini berlagak pahlawan?"

Di tengah silang pendapat yang memanas, publik Aceh disuguhi sebuah ironi besar. Buku "Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI - GAM di Helsinki" (CSIS, 2008), ditulis sendiri oleh Hamid dan diakui penerbitnya sebagai "dokumen otoritatif" berkat gaya notulensinya yang rinci, tak menyebut Munawar Liza satu baris pun.

Ketika Dialeksis menanyakan langsung susunan tim inti, Hamid kukuh pada lima nama GAM: Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, Nurdin Abdurrahman, Nur Djuli. "Saya tidak tahu kalau ada struktur yang bernama anggota perunding GAM. Saya tegas bahwa diketahui oleh pemerintah Indonesia hanya lima nama tersebut," tegasnya, menolak mengakui struktur di luar itu.

Di sinilah debat menemui simpul krusial, diurai dengan lugas oleh Otto Syamsuddin Ishak, sosok yang tak asing dalam proses perdamaian. Ia mengingatkan batas yang sering kabur: "Klaim tanpa bukti adalah racun bagi sejarah." Otto menegaskan dikotomi fundamental: yang disebut juru runding hanyalah yang duduk di meja perundingan dengan pengakuan resmi kedua belah pihak. Sedangkan tim pendukung, meski vital, beroperasi di belakang layar.

"Sebutan 'tim pendukung' bukan pengakuan status juru runding... Lebih tepat disebut sebagai anggota delegasi perundingan," papar mantan Ketua Komnas HAM RI ini, menyepakati lima nama inti GAM versi Hamid sebagai juru runding. Penelusuran Dialeksis pada definisi akademik memperkuat hal ini: juru runding adalah individu bermandat negosiasi langsung, sementara tim perunding bertanggung jawab kolektif atas proses kompleks.

Publik Aceh kini menanti, akankah sang profesor membalas? Sementara Hamid masih membisu terhadap permintaan konfirmasi Dialeksis, debat ini telah melampaui sekadar adu klaim personal. Ia menjadi cermin pilu perdamaian Aceh, meski telah mengeringkan tetesan darah, ternyata belum sepenuhnya mengeringkan tintanya.

Narasi tentang siapa yang berjasa merajut damai masih basah, rentan diperdebatkan, dan menyisakan luka ketika pengakuan dirasa timpang. Perdamaian bukan sekadar tanda tangan di atas kertas MoU Helsinki; ia adalah pengakuan tulus atas setiap tangan, di meja utama maupun di ruang pendukung, yang ikut menenun benang-benang rekonsiliasi yang rapuh.

Ketika dokumen otentik dan kesaksian terverifikasi tak lagi cukup menjembatani memori yang bersilangan, sejarah Aceh pun terancam terjebak dalam kubangan klaim yang saling menyembur, meninggalkan kita bertanya: akankah tinta damai ini benar-benar kering, atau selamanya akan lembap oleh air mata yang terlupakan dan nama-nama yang terhapus? Hanya waktu, dan kejujuran memandang masa lalu, yang akan mengeringkannya.

Atau justru membiarkannya basah, agar mudah diubah oleh mereka yang saling mengklaim sebagai pemilik sejarah. Damai itu bukan monumen mati, melainkan taman hidup yang harus terus disiram kejujuran. Dan hari ini, di Aceh, taman itu kembali dilanda kemarau pengakuan.[red]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
dpra