Membersihkan 'Kuman KKN' dari Proyek Wastafel Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
Produk wastafel. Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Ironi tak terperi terjadi di Aceh. Wastafel, yang seharusnya menjadi simbol kebersihan di masa pandemi, justru menjadi sarana mencuci uang. Proyek pengadaan senilai Rp43 miliar ini kini tercoreng oleh dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi hingga kontraktor swasta. Alih-alih membersihkan tangan, proyek ini malah mengotori reputasi pemerintah Aceh.
Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan sungguh mengejutkan. Syifak Muhammad Yus, yang disebut-sebut sebagai "anak bau kencur", berhasil mengantongi 159 dari 390 paket proyek. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang individu bisa mendominasi sebuah proyek pemerintah sedemikian rupa? Dapat diindikasikan memiliki relasi kekerabat atau pengaruh keluarga yang besar dalam memuluskan tindakan tersebut.
Praktek nepotisme, jika terbukti, telah menodai prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Maka sudah seharusnya orang yang memberikan ‘privilege’ juga wajib ditarik mempertanggung jawabkan atas tindakannya.
Lebih memprihatinkan lagi, temuan Tim Ahli Konstruksi dari Politeknik Negeri Lhokseumawe mengungkap berbagai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek. Dari sumur bor yang tidak dikerjakan hingga penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi, semuanya menunjukkan betapa sistematis upaya untuk menggerogoti anggaran negara. Ini bukan lagi soal kelalaian, tetapi indikasi kuat adanya kesengajaan untuk memperkaya diri sendiri atas nama pembangunan.
Kita harus mengapresiasi ketegasan Jaksa Penuntut Umum dalam mengungkap berbagai nama yang terlibat. Namun, pertanyaan kritis tetap menggantung: mengapa hanya tiga orang yang kini duduk di kursi pesakitan? Jika benar ada "lingkaran kekuasaan" yang terlibat, seperti yang disinggung oleh Fachrul Razi dari DPD RI, maka penyidikan harus diperluas. Keadilan tidak boleh pandang bulu, baik itu "kelas teri" maupun "hiu-hiu besar", meminjam metafora Kasibun Daulay.
Kasus ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem pengadaan pemerintah. Penggunaan metode Penunjukan Langsung (PL) untuk proyek sebesar ini jelas membuka celah bagi manipulasi dan kolusi. Sudah saatnya kita mengevaluasi dan memperkuat mekanisme pengawasan dalam setiap tahapan proyek pemerintah, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pemulihan kerugian negara. Jika terbukti ada kerugian sebesar Rp7,2 miliar seperti yang disinyalir, maka proses hukum harus memastikan bahwa dana tersebut dikembalikan ke kas negara. Dan ini bukan hanya tanggung jawab pejabat dinas, tetapi juga para kontraktor yang terlibat langsung dalam pengelolaan anggaran.
Akhirnya, kasus wastafel Aceh ini harus menjadi momentum untuk membersihkan "kuman KKN" yang masih bercokol dalam tubuh pemerintahan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa Aceh, dengan sejarah perjuangan dan perdamaiannya yang panjang, mampu menegakkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Masyarakat Aceh pantas mendapatkan pemimpin dan pejabat publik yang tangan dan hatinya bersih, bukan mereka yang justru mengotori proyek kebersihan dengan praktik korup. Sudah saatnya kita semua, baik penegak hukum, politisi, maupun masyarakat sipil, bersatu padu dalam upaya membersihkan Aceh dari segala bentuk korupsi. Hanya dengan demikian, kita bisa membangun Aceh yang benar-benar bersih, bukan hanya secara fisik, tetapi juga moral dan spiritual.