Menyorot PJ Gubernur Aceh
Font: Ukuran: - +
Foto: Ist
Penetapan PJ Gubernur Aceh pada tanggal 5 Juli 2022 tinggal menghitung hari. Bukan perkara mudah dalam menempatkan PJ Gubernur Aceh. Banyak hal yang akan dititipkan Pemerintah Pusat untuk memperbaiki Aceh secara menyeluruh (komperhensif).
Mudah bagi akal sehat kita (common sense) memahami masalah ke-Acehan, seperti urusan kemiskinan. Visi misi pembangunan yang banyak tidak sejalan RPJM maupun RPJP, kemajuan ekonomi yang lambat dan lain sebagainya.
Penempatan sosok PJ Gubernur Aceh menjadi pertaruhan serius bagi Pemerintah Pusat. Bukan hanya sebatas menempatkan karena latar belakang militer, kepolisian atau sipil.
Karena pintu masuk menata serta mereformasi semua lini guna mewujudkan harapan perubahan kehidupan disemua sektor layanan dan kehidupan ekonomi masyarakat.
Namun berbanding terbaik, melihat realitas dimana PJ Gubernur Aceh hadir layaknya mencuci piring kotor dari kondisi pemerintahan Aceh yang telah berjalan selama tiga dekade.
Mirisnya selama itu Aceh terjebak didimensi kemiskinan, pengangguran yang banyak, kemandirian ekonomi tidak hidup, bisa disimpulkan Aceh tertinggal dari segala aspek.
Selama rentang waktu itu pemanfaatan Dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Aceh belum tepat sasaran, belum tepat manfaat, dan tepat guna. PJ gubernur nanti dihadapi dengan kondisi sisa anggaran Otsus 1 % plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional yang jatuh 2023-2027.
Ini masalah buruk ditengah keterbatasan dana harus benar-benar pengoptimalan, efesiensi, dan efektivitas sehingga memberikan daya ungkit ekonomi dan perubahan lebih baik Aceh ke depannya.
Berdasarkan data realisasi penerimaan daerah sejak diberlakukan status otonomi khusus, maka penerimaan dana Otsus (rata-rata 58,06% pertahun) memiliki kontribusi yang sangat dominan dibandingkan dengan jenis penerimaan lainnya.
Beban Berat PJ Gubernur Aceh
Fakta celotehan di atas, tentunya bagi PJ Gubernur Aceh akan menghadapi pekerjaan rumah (PR) sangat berat. Apalagi PR kepentingan pusat harus dapat diwujudkan dan realisasikan. Kepentingan itu meliputi;
Pertama, menjamin terlaksananya kebijakan strategis pusat di Aceh, termasuk keberlangsungan proyek strategis nasional. Kedua, Pj wajib menjamin setiap kebijakan pusat terhadap Aceh dapat diterima secara lokal dan mendapat dukungan kuat dari parlemen lokal dan stakeholder.
Meredam, serta memetakan potensi gerakan dan perlawanan terhadap pusat. Termasuk kandidat kepala daerah yang potensial dapat memicu pergolakan antara Aceh-Jakarta.
Menjadi tanda tanya, apakah Pj Gubernur Aceh nantinya mampu menjalankan apa yang menjadi kepentingan pemerintah pusat dalam hal memastikan pembangunan berkelanjutan di Aceh sekaligus menjalankan agenda pembangunan nasional di level lokal?
Serta tak kalah penting, apakah Pj yang ditempatkan mampu serius menjalankan tata kelola pemerintahan di Aceh dalam rangka optimalisiasi pelayanan publik bagi masyarakat Aceh?
Tentunya sosok Pj harus dapat diterima sebagian besar elite dan stakeholder, khususnya dua elemen yaitu mantan kombatan dan ulama. Tidak kalah pentingnya dan menjadi terpenting, Pj harus memahami UUPA dan Mou Helsinki. Mampu melakukan diplomasi baik sehingga dapat membangun jembatan dalam hal akomodasi kepentingan Aceh-Jakarta.
Hal lain perlu dipikirkan sang PJ, banyak pihak yang berjuang untuk memperjuangkan agar posisi PJ itu menjadi sosok yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh. Pihak pihak ini tentunya punya latar belakang kenapa mau memperjuangkan sosok PJ.
Baik karena kepentingan ekonomis, kepentingan ideologis maupun kepentingan kelompok tertentu. Semua dapat dibaca dari apa yang terlihat secara kasat mata serta fakta dilapangan. Bahkan tidak menutup kemungkinan kepentingan yang ada saling berkelindan dan berkaitan.
Semua pihak, terutama kandidat PJ Gubernur Aceh, harus mewaspadai pihak tertentu yang menembak diatas kuda, seolah olah berjasa dan bekerja menggoalkan, padahal dalam praktek sebatas ambil di ujung atau sedikit celah.
Walhasil pahlawan kesiangan ini nantinya dapat menjadi batu sandungan bagi langkah PJ kedepan dalam mengawal transisi demokrasi di Aceh sekaligus memperbaiki sengkarut tata kelola pemerintah Aceh yang hari ini carut marut.
Aceh membutuhkan sosok orang yang tidak serta merta mementingkan kelompok tertentu. Aceh membutuhkan sosok PJ kepala daerah yang memang punya niat serius berkomitmen membuat sebuah legacy yang nyata bagi pembangunan Aceh.
Sosok PJ di Aceh harus mampu menjembatani atas banyak masalah yang perlu diselesaikan di internal Aceh. Sehingga dalam masa transisi diharapkan banyak perubahan kearah positifi di seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh maupun di pemerintahan dan pembangunan.
Disini tentunya peran dari PJ bukan mudah, punya tanggungjawab moral secara spritual (ketuhanan) maupun jejaring koneksi. Itu semua harus diperhatikan. Jangan sampai PJ bukan malah menjadi panutan perubahan nyata Aceh ke arah positif, namun malah menjadi aktor yang memperkeruh suasana - alih alih menimbulkan gejolak - di Aceh nantinya.
Sekali lagi, sosok PJ perlu diingat bukanlah nabi ataupun malaikat. Masyarakat tentunya mengharapkan sosok pemimpin yang meski tidak memiliki kesempurnaan, akan tetapi sosok yang mampu saling mengisi dengan banyak pihak.
Sama-sama melibatkan rakyat menyelesaikan segudang masalah Aceh, sekaligus membuat satu gebrakan dan perubahan secara bersama dengan multistakeholder di Aceh.
Aceh memerlukan Pj Gubernur yang memilki pengalaman nyata, berkomitmen, komunikatif, tegas dan mengedepankan kemanusian. Bukan sosok gubernur yang hanya mengincar jabatan dalam rangka coba coba dan mengisi job sampingan untuk mempertebal pundi kantong pribadi.