Putusan PTTUN Pilkada Aceh Tamiang yang Tak Berpijak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Redaksi
DIALEKSIS.COM | Tajuk - Ada yang janggal dalam putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan soal sengketa pencalonan Bupati Aceh Tamiang. Pengadilan mengabulkan gugatan Hamdan Sati-Febriadi, tetapi mengabaikan fakta bahwa mereka tak pernah memenuhi syarat minimal sebagai calon. Putusan ini bukan hanya mengancam kepastian hukum, tapi juga mencederai logika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Masalahnya sederhana: bagaimana mungkin seseorang yang belum mengumpulkan dukungan, belum mengikuti tes kesehatan, bahkan belum memenuhi syarat dasar pencalonan, tiba-tiba harus ditetapkan sebagai calon melalui putusan pengadilan? Ini seperti memaksa seseorang masuk ke kelas tiga SMA tanpa pernah menyelesaikan kelas satu dan dua.
Kronologinya jelas. Saat pendaftaran resmi ditutup, hanya ada satu pasangan calon yang mendaftar: Armia Pahmi-Ismail. Sesuai aturan, pendaftaran diperpanjang tiga hari. Hamdan Sati-Febriadi mencoba peruntungan pada masa perpanjangan ini. Masalahnya, mereka belum pernah dinyatakan memenuhi syarat dukungan oleh KIP Aceh Tamiang. Padahal, Peraturan KPU dengan tegas mensyaratkan verifikasi dukungan harus selesai sebelum masa pendaftaran dibuka.
PTTUN Medan seperti menutup mata atas persyaratan mendasar ini. Lebih mengherankan lagi, putusan ini dikeluarkan hanya sebulan menjelang hari pemungutan suara yang dijadwalkan 27 November 2024. Undang-Undang Pilkada dengan tegas memberi batas: putusan pengadilan harus dilaksanakan minimal 30 hari sebelum pencoblosan. Dengan demikian, putusan ini sudah lahir dalam kondisi yang mustahil dieksekusi.
Yang patut dipertanyakan adalah motif di balik gugatan ini. Mengapa pasangan Hamdan Sati-Febriadi tidak mengikuti prosedur normal sejak awal? Mengapa mereka memilih jalur pengadilan ketika jelas-jelas belum memenuhi syarat administratif? Pertanyaan ini penting mengingat kasus serupa berpotensi terulang di daerah lain.
Putusan PTTUN Medan ini berbahaya karena menciptakan preseden buruk. Ia membuka celah bagi siapa pun untuk memaksa masuk dalam kontestasi pilkada melalui jalur pengadilan, sekalipun tidak memenuhi syarat minimal. Bila dibiarkan, praktik ini bisa mengacaukan sistem pemilihan kepala daerah yang sudah tertata.
KIP Aceh Tamiang masih punya kesempatan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun terlepas dari itu, fokus mereka sebaiknya tetap pada penyelenggaraan pilkada yang sudah di depan mata. Membuka pendaftaran ulang atau memasukkan calon baru pada tahap ini hanya akan menciptakan kekacauan.
Kasus ini memberi pelajaran penting tentang harmonisasi hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Pengadilan memang punya wewenang mengadili sengketa pemilu, tapi putusannya harus berpijak pada realitas dan logika hukum yang berlaku. Putusan yang mengabaikan syarat-syarat fundamental pencalonan dan batas waktu pelaksanaan hanya akan menjadi macan kertas yang tak bergigi.
Lebih dari itu, kasus ini menunjukkan betapa mendesaknya pembenahan sistem penyelesaian sengketa pemilu. Pengadilan perlu diberi pemahaman komprehensif tentang teknis penyelenggaraan pemilu, termasuk tahapan dan tenggat waktu yang tak bisa ditawar. Tanpa itu, putusan-putusan yang tak berpijak pada realitas akan terus bermunculan.