DIALEKSIS.COM | Tajuk - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sudah lama menjadi pekerjaan rumah negara. Sejak disahkan hampir dua dekade lalu sebagai turunan langsung MoU Helsinki 2005, undang-undang ini menyimpan sejumlah kelemahan. Banyak pasal multitafsir, benturan dengan aturan sektoral nasional, hingga masalah dana Otonomi Khusus (Otsus) yang kian mendesak.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menuntaskan bagiannya. Sembilan pasal penting disepakati untuk direvisi: mulai dari penguatan status Qanun, perpanjangan dana Otsus, pengelolaan sumber daya alam, hingga kedudukan zakat dalam sistem perpajakan. Langkah ini menjadi bukti konsensus lokal sudah terbangun. Bola kini berada di Jakarta. Namun di Senayan, revisi UUPA justru tersendat: sempat gagal masuk Prolegnas Prioritas 2025, baru kemudian belakangan disetujui Baleg DPR untuk dimasukkan ke kategori kumulatif terbuka.
Keterlambatan ini menimbulkan pertanyaan besar yakni apakah pemerintah pusat benar-benar memiliki keseriusan politik? Atau justru membiarkan waktu berjalan hingga revisi ini mandek?
Salah satu inti revisi adalah keberlanjutan dana Otsus. Sejak 2023, alokasi untuk Aceh merosot menjadi 1% dari Dana Alokasi Umum nasional, dan dijadwalkan habis pada 2027. Artinya, tanpa revisi, Aceh akan kehilangan dasar hukum menerima dana khusus yang selama ini menopang pembangunan pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
DPRA mengusulkan perpanjangan Otsus menjadi 2,5% dari APBN tanpa batas waktu, mengikuti prinsip money follows function. Jika Aceh tetap diberi kewenangan khusus, wajar bila ada dana khusus yang menyertai. Ini bukan sekadar soal anggaran, melainkan bagian dari kontrak sosial yang lahir dari perjanjian damai.
Selain Otsus, revisi UUPA juga menyasar penguatan kewenangan Aceh di sektor migas, karbon, investasi, hingga perdagangan. Selama ini, kekhususan Aceh kerap tersandera disharmoni aturan pusat. Status Qanun Aceh sering dipatahkan oleh regulasi nasional, zakat sebagai pengurang pajak tak kunjung terlaksana karena ketiadaan aturan turunan. Revisi UUPA menjadi krusial untuk memberi kepastian hukum, memperkuat otonomi asimetris, dan menjamin Aceh bisa mengelola potensi daerahnya sendiri.
Sayangnya, sinyal dari pusat tidak memberi harapan besar. Hingga pertengahan 2025, revisi UUPA absen dari Prolegnas Prioritas. Padahal, aturan ini bukan sekadar regulasi daerah, melainkan bagian integral dari penyelesaian konflik nasional. Abainya pusat seolah menunjukkan revisi ini dianggap isu lokal belaka, bukan agenda negara.
Akademisi Universitas Negeri Medan, Budi Ali Mukmin, menyebut ada tiga sebab utama. Pertama, substansi revisi belum dianggap matang karena bersinggungan dengan UU sektoral lain. Kedua, framing isu terlalu lokal, gagal dikaitkan dengan agenda nasional seperti reformasi kelembagaan atau stabilitas ekonomi. Ketiga, advokasi politik Forbes Aceh di Senayan dinilai sporadis, tanpa strategi yang konsisten.
Analisis ini tajam sekaligus menyedihkan. Jika benar, berarti pemerintah pusat menutup mata pada konteks historis dan moral revisi UUPA. Bagaimana mungkin sebuah janji damai diperlakukan seolah hanya urusan administratif daerah?
Kritik juga pantas diarahkan pada Forbes Aceh, wadah anggota DPR dan DPD asal Aceh. Mereka sejatinya adalah ujung tombak advokasi di Jakarta. Namun kinerja yang tampak justru parsial. Tidak ada konsolidasi lintas fraksi, tidak ada strategi lobi yang sistematis, bahkan komunikasi dengan pimpinan partai nasional dinilai minim.
Akibatnya, perjuangan revisi UUPA kerap hangat-hangat tahi ayam: ramai di media, sepi di meja keputusan. Baru setelah revisi gagal masuk prioritas, barisan Forbes tampak sibuk melakukan lobi. Ketua Forbes, TA Khalid, akhirnya mengumumkan revisi UUPA masuk Prolegnas Prioritas pada September 2025. Pencapaian ini patut diapresiasi, tapi sekaligus menjadi catatan pahit kenapa baru sekarang?
Forbes Aceh harus berbenah. Tanpa soliditas dan strategi terukur, perjuangan ini rawan terulang: semangat tinggi di awal, redup ketika berhadapan dengan kerasnya lobi politik nasional.
Mengabaikan revisi UUPA bukan hanya persoalan hukum. Taruhannya adalah kepercayaan rakyat Aceh. UUPA adalah simbol keistimewaan yang lahir dari darah, air mata, dan perundingan panjang di Helsinki. Jika penyempurnaannya dibiarkan mandek, rakyat Aceh akan membaca itu sebagai bentuk ingkar janji.
Kekecewaan semacam itu berbahaya. Mungkin tidak akan langsung memicu konflik baru, tetapi bisa mengikis legitimasi pusat di mata rakyat Aceh. Rasa dikhianati mudah bertransformasi menjadi apatisme, atau bahkan menjadi bahan bakar retorika bagi pihak-pihak yang ingin menghidupkan kembali sentimen separatis.
Lebih jauh, ketidakseriusan ini juga akan mengorbankan pembangunan. Dengan dana Otsus yang berkurang, Aceh makin kesulitan mengejar ketertinggalan. Data BPS masih menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Memutus aliran Otsus tanpa solusi adalah kebijakan yang bukan saja tak adil, tapi juga kontra produktif terhadap janji pemerataan pembangunan.
Pemerintah pusat tak boleh lagi ragu. Presiden dan pimpinan partai nasional harus menunjukkan political will yang nyata. Revisi UUPA mesti disahkan paling lambat pertengahan 2026, sebelum APBN 2028 disusun. Koordinasi lintas kementerian perlu dipimpin langsung oleh Kemenko agar substansi revisi sinkron dan tak berbenturan dengan UU sektoral.
Forbes Aceh pun harus berubah menjadi mesin advokasi yang solid. Mereka perlu peta jalan lobi, opsi kebijakan untuk kompromi, serta kemampuan membangun aliansi dengan anggota DPR dari luar Aceh. Jangan sampai perjuangan revisi UUPA kembali kandas hanya karena ego fraksi atau kepentingan sempit.
Selain itu, framing revisi UUPA harus diubah. Ini bukan hanya untuk Aceh, melainkan untuk kepentingan nasional: konsolidasi demokrasi, penguatan otonomi asimetris, dan kepastian hukum investasi. Narasi ini penting untuk meraih simpati publik dan mengurangi resistensi politik.
Revisi UUPA adalah ujian keseriusan negara menjaga janji damai. Aceh sudah menyelesaikan pekerjaannya: menyusun draf, membangun konsensus lokal, dan menyerahkan ke Jakarta. Kini giliran pusat menepati janji.
Jika revisi UUPA disahkan, itu menjadi bukti nyata bahwa negara hadir dengan komitmen penuh, bukan basa-basi politik. Sebaliknya, jika revisi ini mandek, sejarah akan mencatat: pemerintah pusat telah menyia-nyiakan momentum, membiarkan luka lama menganga kembali. Aceh menunggu. Dan rakyat berhak menagih.