SDA untuk Siapa?
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi. [Foto: Sindonews]
DIALEKSIS.COM | Editorial - Sekilas, maraknya eksplorasi Sumber Daya Alam (SDA) disektor minyak dan gas di perairan laut Aceh baik dalam kewenangan Aceh atau nasional, serta banyaknya kegiatan ekploitasi SDA emas di berbagai tempat, juga ragam sumber daya alam lainnya kerap dijadikan pertanda betapa cerahnya masa depan Aceh.
Seakan, jika semua SDA itu dikelola maka semua persoalan pembangunan di Aceh akan teratasi, termasuk kemiskinan. Benarkah?
Tunggu dulu, Aceh punya pengalaman terdekat dengan kegiatan eksploitasi migas Arun. Apa yang terjadi? Angka kemiskinan terbesar kala itu justru ada di Aceh Utara. Bahkan, berbagai persoalan pelanggaran HAM juga terjadi, yang saat ini melahirkan gugatan dan putusan dari hasil gugatan korban di Amerika Serikat.
Mark Twain, novelis berkebangsaan Amerika Serikat pernah mengingatkan soal tambang. Menurutnya, tambang adalah lobang besar yang di atasnya berbaris para pembohong.
Mark Twain ingin mengingatkan bahwa para investor belum tentu memikirkan soal kesejahteraan bagi penduduk yang dibawah buminya memiliki bahan tambang yang mereka eksploitasi, sebab yang utama mereka pikirkan adalah keuntungan bagi diri, perusahaan mereka sendiri.
Berbagai cara sangat mungkin mereka lakukan, termasuk membayar siapapun sehingga mereka mendapat akses dah izin untuk menambang. Bahkan, dengan menipu pun mereka siap lakukan untuk menaikkan saham mereka lewat apa yang mereka sebut temuan.
Dalam dunia yang belum transparan dan tidak jujur itulah mengapa penting melawan paradigma yang mengatakan SDA adalah warisan nenek moyang. Paling tepat adalah SDA sebagai titipan bagi anak cucu, generasi mendatang.
Kita semua tentu tidak ingin karena eksploitasi SDA lingkungan alam Aceh rusak. Kita tidak ingin karena perebutan SDA terulang kembali konflik keras dan penuh pelanggaran HAM.
Semua kita sudah pasti ingin maju, sejahtera dah bahagia. Tapi, cara mencapai semuanya yang justru berpotensi mendatangkan bencana perlu diantisipasi, agar menemukan momentum yang tepat. Nah, momentum itulah yang belum ditemukan saat ini.
Buktinya, secara SDM dan regulasi kita belum cukup memberi jaminan bahwa alam Aceh akan terpelihara dengan kegiatan eksploitasi untuk saat ini. Karena itu, SDA biarlah menjadi semacam Bank Semesta yang dititipkan bagi generasi berikutnya.
Untuk saat ini, banyak sektor-sektor lain yang dapat dimaksimalkan guna keluar dari problem kemiskinan dan pengangguran. Salah satu yang perlu menjadi perhatian serius adalah memaksimalkan Dana Desa. Jika Dana Desa bisa dimaksimalkan, maka sektor-sektor lain, seperti perkebunan, perikanan dan pariwisata sudah pasti akan menyumbang bagi mengatasi kemiskinan dan penggangguran.
Tapi, kalau SDA yang dikedepankan untuk diekspitasi sebagai strategi mengatasi kemiskinan rakyat patut bertanya, itu untuk siapa? Rakyat, atau untuk orang kaya yang sudah kaya?