DIALEKSIS.COM | Tajuk - Dua puluh empat tahun Reformasi, relasi sipil - militer masih seperti bara dalam sekam. Di satu sisi, TNI telah "kembali ke barak" lewat UU No. 34/2004. Di sisi lain, otoritas sipil justru gagal memanfaatkan momentum ini untuk membangun tata kelola pertahanan yang modern, profesional, dan bebas intervensi politik. Alih-alih harmoni, yang terjadi adalah ketegangan laten: militer merasa tak diurus, sementara sipil sibuk berebut kuasa dengan mengorbankan integritas demokrasi.
Data Imparsial (2023) menyebut, 65% anggaran pertahanan tersedot untuk gaji prajurit, sementara modernisasi alutsista terhambat. Peneliti Senior Imparsial & Ketua Centra Initiative, menegaskan: "Pemerintah abai pada peningkatan kapasitas militer, tapi rajin mempolitisasi TNI untuk kepentingan kekuasaan." Faktanya, rezim Jokowi tercatat menggunakan pendekatan pragmatis—menjadikan TNI sebagai alat stabilisasi politik, sementara kesejahteraan prajurit kelas bawah tetap terabaikan. Kajian Denny & Rodon (2022) dalam Jurnal Politika bahkan menyebut Jokowi membuka keran bagi aktor keamanan nontradisional—kelompok sipil yang didukung purnawirawan—untuk ikut bermain dalam isu sekuritisasi.
Ini preseden berbahaya. Buku Salim Said, Militer Indonesia dan Politik (2001), mengingatkan: politisasi militer dan lemahnya kualitas kepemimpinan sipil adalah dua faktor utama yang kerap mengundang tentara kembali ke gelanggang politik. Ironisnya, elite sipil justru memperparah keadaan. Korupsi sistemik, konflik partai, dan rekruitmen kepemimpinan yang sarat transaksi mengikis kredibilitas mereka. Alih-alih menjadi penjaga demokrasi, mereka justru menjadi tukang stempel bagi kepentingan oligarki.
Revisi UU TNI No. 34/2004 bukan lagi pilihan, tapi keharusan. TNI perlu diarahkan sebagai institusi profesional yang fokus pada pertahanan, dengan pengawasan sipil yang ketat namun aspiratif. Di saat yang sama, otoritas sipil wajib berbenah: stop politisasi militer, percepat modernisasi alutsista, dan penuhi hak dasar prajurit. Tanpa ini, jangan harap TNI bisa lepas dari godaan "turun gunung" kembali.
Figur Prabowo Subianto—eks jenderal yang telah "bersalin rupa" jadi politisi sipil—bisa menjadi ujian besar. Ia punya dua kaki: memahami logika militer sekaligus menguasai permainan politik sipil. Tapi sejarah mencatat, mantan Danjen Kopassus ini kerap abur antara kepentingan strategis dan ambisi pribadi. Jika ia gagal menjaga netralitas TNI, atau justru memanfaatkan nostalgia militernya untuk kepentingan kekuasaan, maka demokrasi kita akan kembali terancam babak belur.
Redaksi Dialeksis mengingatkan: relasi sipil-militer adalah termometer kesehatan demokrasi. Jika hari ini sipil masih gemar memainkan api di lumbung bensin, sementara militer dibiarkan lapar dan frustasi, maka stabilitas hanya ilusi. Jangan sampai kita kembali terjebak dalam siklus kelam di mana seragam dan kekuasaan saling menyuburkan—preseden berbahaya bagi demokrasi yang masih belajar berdiri.