DIALEKSIS.COM | Tajuk - Keputusan Kemendagri memindahkan empat pulau perbatasan Aceh - Sumut terlihat bertolak belakang dengan data sah Aceh. Pemerintah Aceh justru memegang bukti otentik bahwa keempat pulau itu berada dalam wilayah Aceh.
Mulai peta kesepakatan perbatasan 1992 antar gubernur Aceh - Sumut yang disahkan Mendagri hingga tugu koordinat, dermaga, dan mushalla yang dibangun oleh pemerintah Aceh di Pulau Panjang dan pulau-pulau lain, semuanya mengonfirmasi status milik Aceh.
Dokumen - dokumen pendukung ini peta resmi dan hasil survei lapangan jelas menunjukkan keempat pulau tersebut masuk cakupan wilayah Aceh. Ironisnya, fakta - fakta tersebut dilewatkan oleh Kemendagri, yang tetap saja menetapkan keempat pulau sebagai wilayah Sumatera Utara tanpa menjelaskan keberpihakan pada data Aceh.
Sikap tegas pemerintah Provinsi Aceh, telah berulang kali menyurat kepada Kemendagri agar keempat pulau itu dikembalikan ke Aceh karena milik Aceh sah secara hukum. Di lapangan, bahkan pihak Sumut sendiri mengakui bahwa pulau-pulau itu adalah milik Aceh namun Kemendagri tetap bersikeras memasukkannya dalam wilayah Sumut.
Tidak satu pun perjanjian resmi melepas pulau-pulau ini, justru berita acara semu yang dipakai menjadi dasar digugat Aceh karena ditandatangani pejabat eselon rendah saja. Keputusan sepihak Kemendagri yang mengabaikan fakta dan proses sah itu merampas hak kepemilikan sah masyarakat Aceh dan mencederai martabat (marwah) mereka.
Pemerintah Aceh pun menolak mentah-mentah “permindahan” ini, mengajukan keberatan resmi, dan meminta keputusan itu direvisi karena mengabaikan bukti sejarah dan hukum.
Jika data Aceh yang jelas-bener dihentakkan begitu saja, publik wajar bertanya; Keputusan ini menguntungkan siapa? Banyak pihak mencurigai adanya campur tangan elit nasional demi kepentingan ekonomi tertentu. Bahkan anehnya menurut Drs. Syakir, M.Si. Karo Pemerintahan Provinsi Aceh sendiri heran: “Mayoritas peserta rapat koordinasi di Bali 21 Juli 2022, menyampaikan SKB 1992 menjadi acuan dalam penentuan 4 pulau tersebut, ini menjelaskan bahwa 4 pulau tersebut milik Aceh, tapi kok bisa Kemendagri tetap bersikeras menjadikannya milik Sumatera Utara”.
Kenyataannya, proses ini tidak transparan justru menguntungkan segelintir pihak. Ketika bukti objektif dan suara rakyat Aceh diabaikan, keadilan menjadi korban. Sikap Kemendagri yang menutup mata terhadap aspirasi publik Aceh dan data objektif menunjukkan pihaknya jauh dari keadilan, lebih mengedepankan kepentingan tersembunyi ketimbang kebenaran.
Kita menuntut agar Kemendagri berpihak pada bukti dan keadilan. Akumulasi bukti Aceh mulai peta kesepakatan 1992 hingga dokumen kepemilikan pulau tahun 1965 telah diserahkan sebagai bukti kuat.
Aparat pusat seharusnya memihak pada data objektif dan hak konstitusional rakyat Aceh, bukan mengorbankan marwah Aceh demi kepentingan sesaat. Jika keadilan ditegakkan, keputusan keliru ini harus segera dibatalkan.
Karena pada akhirnya, hanya integritas dan keadilan yang akan mengembalikan kepercayaan masyarakat Aceh bukan keputusan yang mengabaikan data sah dan melukai martabat mereka. [red]