kip lhok
Beranda / Tajuk / Tangki CPO dan Ancaman di Jalan Lintas Sumatera

Tangki CPO dan Ancaman di Jalan Lintas Sumatera

Senin, 28 Oktober 2024 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Redaksi

DIALEKSIS.COM | Tajuk - ANCAMAN terhadap sopir truk pengangkut minyak sawit mentah di jalur Aceh-Medan adalah potret buram tata kelola industri strategis nasional. Intimidasi dan pemerasan yang terjadi berulang kali sepanjang jalan lintas Sumatera bukan sekadar cerita tentang premanisme jalanan, melainkan gambaran karut-marut pengamanan sektor vital ekonomi.

Para sopir tangki crude palm oil (CPO) menghadapi situasi mencekam: dipaksa menurunkan sebagian muatan atau menghadapi risiko kekerasan fisik. Lebih memprihatinkan, laporan ke polisi seolah menguap begitu saja. Praktik ilegal ini telah berlangsung bertahun-tahun, seakan-akan ada tangan tak kasat mata yang melindungi para pelaku.

Dugaan keterlibatan oknum aparat yang dilontarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Nasir Djamil layak diusut tuntas. Jika benar ada "backing" dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung, ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, melainkan pengkhianatan terhadap sumpah jabatan. Kepolisian harus membersihkan institusinya dari praktik kotor ini.

Namun, penyelesaian masalah ini tidak bisa semata mengandalkan penegakan hukum. Tawaran solusi dari Penjabat Gubernur Aceh, Safrizal Zakaria Ali, untuk membangun industri hilir dan mengaktifkan kembali pelabuhan ekspor patut diapresiasi. Ini adalah pendekatan sistemik yang menyasar akar masalah: ketergantungan pada jalur darat yang panjang dan rawan.

Hilirisasi industri sawit di Aceh bukan sekadar jargon pembangunan. Kehadiran pabrik pengolahan akan memotong mata rantai distribusi yang selama ini menjadi celah bagi praktik pemerasan. Revitalisasi pelabuhan untuk ekspor langsung akan mengurangi ketergantungan pada jalur darat ke Medan. Dua kebijakan ini, jika direalisasikan dengan tepat, bisa menjadi jalan keluar dari lingkaran setan premanisme CPO.

Namun, niat baik saja tidak cukup. Pemerintah Aceh harus menyiapkan peta jalan yang detail: dari pembebasan lahan, perizinan, hingga infrastruktur pendukung. Tanpa perencanaan matang, kebijakan ini hanya akan menjadi proyek mercusuar yang mangkrak di tengah jalan. Pengalaman pembangunan kawasan industri yang gagal di berbagai daerah harus menjadi pelajaran berharga.

Sementara pembangunan infrastruktur berjalan, pengamanan jalur distribusi tidak boleh kendor. Satuan tugas gabungan yang dijanjikan—melibatkan Polda Aceh, TNI, dan Satpol PP—harus segera dibentuk dengan kewenangan dan anggaran yang memadai. Patroli 24 jam bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk komitmen negara melindungi sektor vital ekonomi.

Industri sawit adalah urat nadi perekonomian Aceh, menyumbang lebih dari 60 persen pendapatan ekspor daerah. Membiarkan praktik pemerasan ini berlanjut sama dengan menggerogoti potensi kesejahteraan rakyat Aceh. Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah bersinergi menciptakan ekosistem industri sawit yang aman dan berkelanjutan.

Jalan menuju perubahan memang tidak mudah. Tetapi pilihan untuk tetap dalam status quo—membiarkan sopir tangki CPO menghadapi ancaman demi ancaman—jelas bukan opsi yang bisa diterima di negara hukum yang mengaku melindungi segenap warga negaranya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda