DIALEKSIS.COM | Tajuk - Keengganan pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, menaikkan status banjir bandang dan longsor besar di Sumatera menjadi bencana nasional terus memicu tanda tanya publik. Sudah lebih dari dua pekan bencana meluluhlantakkan puluhan kabupaten, ribuan warga mengungsi, akses logistik terputus, dan ancaman kelaparan mulai terasa di daerah-daerah terisolasi.
Namun status nasional itu tak juga diucapkan. Diam yang berkepanjangan ini memunculkan dugaan yang lebih gelap: apakah pemerintah sedang membiarkan warga bertahan sendiri di tengah bencana? Atau jangan-jangan pemerintah memang tak punya cukup uang untuk menanggung ongkos besar rehabilitasi dan rekonstruksi Sumatera? atau justru sengaja melindungi borok para pelaku yang selama ini memberi izin eksploitasi tambang dan hutan.
Kecurigaan ini bukan hadir dari ruang kosong. Selama puluhan tahun, Sumatera adalah panggung luas bagi ekspansi industri ekstraktif: pembabatan hutan, pelepasan kawasan lindung, perburukan DAS, hingga tumpang tindih izin tambang dan kebun. Kerusakan itu bukan rahasia, tetapi tersimpan rapi di balik tumpukan dokumen perizinan dan laporan yang jarang sekali muncul ke hadapan publik.
Menaikkan status bencana Sumatera menjadi bencana nasional berarti menarik tirai pada panggung yang sesungguhnya belum pernah siap untuk disorot. Begitu tirai itu dibuka, publik akan melihat jejak panjang kerusakan ekologis yang melibatkan banyak kepentingan besar.
Status nasional menuntut negara membuka peta deforestasi, konsesi tambang, izin pelepasan kawasan hutan, audit rehabilitasi lingkungan, hingga jejak para pemegang kekuasaan perizinan dari masa ke masa. Semua hal yang selama ini nyaman bersembunyi di balik retorika pembangunan dan investasi.
Di sinilah akar kecurigaan publik: penundaan ini bukan sekadar kelambatan administratif, tetapi ketakutan menghadapi konsekuensi politik dan hukum dari pengakuan skala kerusakan yang sebenarnya. Ketika status nasional ditetapkan, narasi “curah hujan ekstrem” tidak lagi cukup untuk menutupi fakta bahwa bencana ini bukan semata fenomena alam, melainkan akumulasi dari tata kelola yang gagal.
Publik pun mulai bertanya: siapa yang menandatangani izin pembukaan hutan? Mengapa rehabilitasi lingkungan tak pernah tuntas? Di mana peta konsesi yang saling bertumpuk hingga merusak daerah tangkapan air? Mengapa anggaran reboisasi habis tetapi tutupan hutan tak pernah pulih? Dan yang lebih pahit: jika status nasional dihindari, apakah itu karena pemerintah khawatir dengan beban anggaran yang harus dikeluarkan? Apakah negara sedang berhitung bahwa biaya menyelamatkan nyawa dan memulihkan Sumatera terlalu besar untuk APBN yang kian ketat?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pintu menuju pertanggungjawaban politik. Tak sedikit nama pejabat, mantan pejabat, hingga pemilik modal besar yang terhubung dengan jaringan perizinan di Sumatera. Pulau itu selama ini adalah museum terbuka atas berbagai dosa ekologis, dari perkebunan yang merangsek ke hulu hingga tambang yang mencabik bentang alam. Jika status bencana dinaikkan, lapisan-lapisan itu akan tampil telanjang.
Tak mengherankan bila pemerintah tampak lebih nyaman membiarkan bencana ini tetap di level daerah. Dengan demikian, kewajiban membuka data bisa diminimalkan, eksposur nasional dan internasional ditekan, dan perhatian publik bisa dialihkan semata pada anomali cuaca. Bahkan, mempertahankan status lokal membantu negara menghindari kewajiban fiskal besar yang melekat pada status nasional: kewajiban mendanai penyelamatan, pemulihan, hingga pembangunan ulang wilayah terdampak dalam skala masif.
Padahal kenyataan di lapangan menunjukkan skala bencana jauh melampaui kapasitas daerah untuk menanganinya. Ribuan keluarga kehilangan rumah, akses logistik runtuh, dan ancaman kelaparan membayangi wilayah-wilayah yang hingga kini masih terisolasi. Fasilitas kesehatan lumpuh, jalur darat terputus, dan stok bantuan menipis. Dalam situasi seperti ini, negara semestinya berpihak pada keselamatan rakyat, bukan pada kekhawatiran membuka data atau kekhawatiran anggaran.
Tajuk Dialeksis ini tidak bermaksud mengadili, tetapi mengingatkan bahwa keberanian mengambil keputusan adalah esensi kepemimpinan. Menetapkan status nasional bukan tanda kelemahan, melainkan pengakuan jujur atas skala bencana dan kesiapan negara untuk bertanggung jawab. Ketakutan terhadap konsekuensi politik dan biaya besar tidak boleh membuat negara terlihat seolah membiarkan rakyat bertahan tanpa kepastian, apalagi terkesan membiarkan mereka kelaparan di tengah rumitnya prosedur birokrasi.
Jika penetapan status nasional terus ditahan, publik berhak bertanya: sampai kapan negara bersembunyi di balik narasi cuaca? Bencana terbesar bukan sekadar banjir dan longsor, tetapi keberanian yang tak kunjung muncul untuk membongkar akar masalahnya. Selama keberanian itu tidak hadir, Sumatera akan tetap menjadi panggung tragedi berulang, di mana alam dan manusia sama-sama menjadi korban kelalaian yang sengaja disembunyikan. [red]