DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peredaran uang di Aceh kembali menjadi sorotan setelah Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Aceh, Agus Chusaini, menyebutkan bahwa sekitar 40 persen uang yang masuk ke Aceh justru mengalir ke luar daerah.
Data tersebut, menurut Agus, diperoleh dari diskusi internal bersama pihak perbankan, meski bukan hasil perhitungan resmi BI.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala, Falatehan, menilai bahwa hal tersebut menjadi indikator rapuhnya fondasi ekonomi daerah.
Menurutnya, fakta bahwa hampir separuh uang yang masuk ke Aceh justru berputar di luar daerah menunjukkan bahwa Aceh belum berhasil membangun ekosistem ekonomi yang mandiri dan berdaya saing.
“Bank Indonesia wajar memandang itu dari kacamata kebijakan moneter nasional. Tapi pemerintah Aceh harusnya punya fokus berbeda. Fokusnya adalah membangun fondasi ekonomi daerah yang kuat, agar uang yang beredar itu dinikmati masyarakat Aceh sendiri,” ujar Falatehan, Senin (4/8/2025), kepada wartawan DIALEKSIS.COM.
Falatehan menggarisbawahi bahwa kekayaan sumber daya alam Aceh, khususnya di sektor pertanian, belum dikelola secara optimal.
Padahal, menurutnya, sektor pertanian adalah salah satu penopang utama ekonomi Aceh yang seharusnya dikuatkan dengan kebijakan fiskal yang tepat.
“APBD Aceh itu cukup besar, berasal dari pajak rakyat Aceh sendiri. Sayangnya, sebagian besar masih tersedot ke belanja administrasi birokrasi. Padahal bisa dimanfaatkan untuk memperkuat infrastruktur pertanian, ketersediaan dan harga pupuk, serta distribusi hasil panen,” ungkapnya.
Falatehan menambahkan, jika Aceh mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri melalui produksi lokal, maka secara otomatis akan menekan ketergantungan terhadap produk dari luar daerah yang selama ini membuat harga kebutuhan pokok tinggi dan sulit dijangkau oleh masyarakat lokal.
Ia menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah Aceh, menurutnya, tak cukup hanya memperbaiki sektor produksi, tetapi juga harus menjaga jalur distribusi dan konsumsi.
“Kalau bahan pangan kita masih tergantung dari luar, maka harga akan terus tinggi. Ini bukan sekadar masalah perdagangan, tapi soal daya beli masyarakat. Hulu dan hilir ekonomi harus dijaga bersama-sama,” tegasnya.
Falatehan juga menyoroti lemahnya kebijakan pembangunan di sektor hiburan dan investasi yang membuat uang masyarakat Aceh lebih banyak dibelanjakan di luar daerah.
“Banyak masyarakat Aceh yang memilih ke luar daerah hanya untuk liburan. Artinya, uang mereka juga dihabiskan di luar. Kenapa? Karena tempat rekreasi dan fasilitas publik di Aceh belum memadai,” jelasnya.
Ia juga menyinggung kebijakan pemerintah Aceh yang kerap tumpang tindih. Sebagai contoh, kehadiran pusat perbelanjaan (mal) tanpa fasilitas hiburan seperti bioskop dinilai menjadi salah satu persoalan dari inkonsistensi kebijakan daerah.
“Jangan cuma buka mal, tapi bioskopnya tidak ada karena alasan regulasi. Itu kan aneh. Kalau memang ingin menyesuaikan dengan kekhususan Aceh, ya atur secara bijak. Jangan malah membingungkan investor,” ujarnya.
Falatehan menegaskan bahwa pemerintah Aceh harus membangun sinergi yang kuat dengan pemerintah pusat untuk memastikan stabilitas fiskal, namun tanpa mengabaikan semangat kemandirian ekonomi daerah.
“Kolaborasi dengan pusat penting, tapi jangan sampai membuat pemerintah Aceh terlalu bergantung. Kita harus punya visi kemandirian ekonomi yang kuat, dimulai dari pertanian, infrastruktur, investasi, sampai pada pola konsumsi masyarakat yang kembali ke produk lokal,” tutup Falatehan.