Beranda / Berita / Aceh / Aceh Institute Harap Banda Aceh Jadi Contoh Sukses Kawasan Tanpa Rokok di Aceh

Aceh Institute Harap Banda Aceh Jadi Contoh Sukses Kawasan Tanpa Rokok di Aceh

Selasa, 17 Desember 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Aceh Institute, Muazzinah Yakop. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Banda Aceh mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. 

Direktur Aceh Institute, Muazzinah Yakop, menyebutkan bahwa pada tahun 2019 kepatuhan masyarakat hanya mencapai 21,1 persen, sedangkan pada 2023 angka tersebut melonjak menjadi 45,3 persen. 

Kendati belum ideal, pencapaian ini dinilai sebagai langkah maju dalam implementasi kebijakan KTR di Kota Banda Aceh.

“Kita tidak melarang orang merokok, tetapi ada kesadaran yang perlu kita tanamkan bahwa peraturan KTR itu penting. Ini adalah capaian bersama masyarakat Banda Aceh,” ungkap Muazzinah dalam Kegiatan Press Conference terkait laporan implementasi Kawasan Tanpa Rokok tahun 2024 yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute di Banda Aceh, Selasa, 17 Desember 2024.

Meski mengalami kemajuan, Muazzinah menyoroti beberapa tantangan di lapangan, khususnya di pasar tradisional dan warung kopi. 

Meskipun telah dipasang tanda larangan merokok di area KTR, tingkat kepatuhan di tempat-tempat ini masih terbilang rendah. Selain itu, fenomena perokok anak dan meningkatnya jumlah perokok perempuan turut menjadi perhatian Aceh Institute.

“Kalau kita lihat, anak sekolah banyak yang merokok. Apalagi di jam pulang sekolah dan musim liburan, di beberapa lokasi seperti jembatan Lamnyong dan kawasan Lampineung, masih sering ditemukan anak-anak merokok. Ini perlu jadi perhatian serius,” jelas Muazzinah.

Ia juga menambahkan bahwa perokok perempuan mulai terlihat di sejumlah kafe di Banda Aceh. Namun, menurut pengamatan Aceh Institute, sebagian dari mereka hanya sekadar berpura-pura merokok atau fake smoker. Fenomena ini dinilai sebagai tren sosial yang perlu ditangani melalui edukasi yang lebih mendalam.

Salah satu poin yang ditekankan Muazzinah adalah kesalahpahaman sebagian masyarakat tentang kebijakan KTR. Menurutnya, KTR bukanlah upaya untuk melarang orang merokok, melainkan membagi ruang yang adil antara perokok dan non-perokok.

“Kita tidak melihat rokok sebagai musuh. Ini soal hak asasi manusia. Hak perokok harus dihormati, tapi hak non-perokok juga perlu dijaga. KTR membagi ruang sehingga keduanya bisa hidup berdampingan tanpa saling mengganggu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Muazzinah menyampaikan perlunya revisi qanun terkait KTR untuk memperjelas administrasi dan pelaksanaan di lapangan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif.

“Kami sering melakukan monitoring dan evaluasi (monev) bersama Satuan Tugas KTR yang dibentuk oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Dalam monev ini, kita tidak hanya menemukan pelanggaran aturan KTR, tetapi juga banyaknya iklan rokok ilegal yang beredar. Ini tantangan ganda, sebab rokok ilegal merugikan pemerintah dan masyarakat,” terang Muazzinah.

Aceh Institute bersama pemerintah setempat telah berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat melalui edukasi yang lebih masif, seperti sosialisasi di meunasah (balai desa) dan wilayah-wilayah kerja puskesmas.

Muazzinah berharap bahwa pada 2025, Kota Banda Aceh bisa kembali menjadi contoh bagi daerah lain dalam implementasi KTR. 

Ia menyebutkan nama Iliza Sa'aduddin Djamal, mantan Wali Kota Banda Aceh, sebagai salah satu tokoh yang berhasil menggagas kebijakan KTR di masa kepemimpinannya.

“Bu Iliza adalah sosok yang sangat peduli dengan KTR. Kami berharap di masa mendatang, semangat ini bisa dihidupkan kembali, sehingga Banda Aceh dapat mencapai tingkat kepatuhan yang lebih baik,” katanya.

Ia mengajak semua pihak, termasuk media, untuk terus mendukung upaya sosialisasi dan edukasi KTR di Banda Aceh.

 “Tantangan memang ada, tetapi peningkatan dari 21 persen ke 45,3 persen adalah bukti bahwa edukasi yang masif bisa mengubah perilaku masyarakat. Ini tugas kita bersama, demi mewujudkan lingkungan yang lebih sehat dan adil,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI