DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh tidak hanya menjadi identitas hukum dan sosial, tetapi juga merupakan bagian dari kultur dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Namun, agar nilai-nilai tersebut benar-benar hidup dan berkelanjutan, diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat.
Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor Banda Aceh, Saiful Amri, menyampaikan pandangan dan tawarannya terkait solusi pelaksanaan Syariat Islam secara lebih konstruktif dan inklusif.
Ia menegaskan bahwa Syariat Islam bukanlah sekadar aturan hukum, melainkan jalan hidup yang perlu dijaga bersama melalui pendekatan yang manusiawi dan membumi.
“Penting bagi kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan Syariat Islam. Jangan hanya bersandar pada penindakan. Pencegahan harus jadi kunci, melalui edukasi dan penguatan nilai-nilai kearifan lokal,” tegas Saiful dalam wawancara kepada media dialeksis.com, Senin (4/8/2025).
Menurut Saiful, Syariat Islam di Aceh bukanlah hasil rekayasa atau paksaan, melainkan merupakan bagian dari kultur yang telah mendarah daging dalam masyarakat Aceh sejak ratusan tahun silam.
“Di Aceh, agama dan budaya tidak pernah bertentangan. Justru menyatu dalam harmoni. Kita tidak perlu menciptakan dikotomi antara keduanya. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan sopan santun adalah cermin dari ajaran Islam yang hidup dalam budaya Aceh,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa kehidupan antarumat beragama di Aceh cukup kondusif, bahkan menjadi salah satu yang paling aman dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
"Coba lihat, di Aceh tidak ada satupun konflik horizontal yang dipicu oleh keberadaan gereja atau rumah ibadah lainnya. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam tidak menimbulkan gesekan, selama kita semua menghormati hak masing-masing,” tambahnya.
Dalam pengamatannya, Saiful juga menyoroti faktor sosial ekonomi sebagai salah satu penyebab meningkatnya pelanggaran terhadap Syariat Islam, terutama di kota-kota besar seperti Banda Aceh.
“Pelanggaran terhadap Syariat sering kali bukan semata-mata karena penolakan terhadap nilai agama, tapi karena tekanan ekonomi, pendidikan rendah, dan lemahnya akses terhadap nilai-nilai spiritual. Inilah mengapa pendekatan represif tidak bisa jadi satu-satunya solusi,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya penguatan pendidikan agama sejak usia dini dan membangun ruang-ruang dialog yang terbuka antara pemerintah, tokoh agama, dan generasi muda.
GP Ansor Banda Aceh, menurut Saiful, siap menjadi mitra strategis dalam membangun kesadaran kolektif masyarakat terhadap nilai-nilai Syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ia juga menyerukan agar pelaksanaan Syariat tidak hanya menjadi tanggung jawab Satpol PP atau Wilayatul Hisbah semata.
“Perlu kolaborasi. Pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Ormas keagamaan, tokoh adat, pemuda, hingga pelaku usaha harus dilibatkan dalam menyebarkan semangat dan pemahaman Syariat yang mencerahkan,” katanya.
Dalam praktiknya, GP Ansor Banda Aceh selama ini telah melakukan berbagai kegiatan edukatif dan sosial yang sejalan dengan penguatan nilai-nilai Islam, seperti pelatihan pemimpin muda, diskusi hingga advokasi remaja millenial.
Saiful juga menyampaikan harapannya agar wacana publik tentang Syariat Islam di Aceh tidak selalu dikaitkan dengan citra kekerasan atau intoleransi.
“Kita perlu keluar dari narasi lama yang menggambarkan Aceh hanya dari sisi hukum cambuk. Syariat bukan itu. Syariat adalah cinta, keadilan, kasih sayang, dan pelayanan terhadap yang lemah. Mari kita ubah perspektif itu bersama,” ujarnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan Syariat Islam sebagai energi positif dalam membangun Aceh yang lebih adil, sejahtera, dan damai.
“Kalau kita berhasil menunjukkan bahwa Syariat Islam di Aceh menebar manfaat dan kebaikan bagi semua, maka tidak ada satu pun pihak luar yang bisa meragukannya. Dunia justru akan belajar dari kita,” pungkas Saiful Amri. [nh]