Minggu, 13 Juli 2025
Beranda / Berita / Aceh / KAMMI Banda Aceh Soroti Maraknya Pelecehan Seksual, Desak Revisi Qanun Jinayat

KAMMI Banda Aceh Soroti Maraknya Pelecehan Seksual, Desak Revisi Qanun Jinayat

Kamis, 10 Juli 2025 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ariska, Bendahara Umum KAMMI Banda Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Banda Aceh menyerukan agar pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh, mengambil langkah tegas dan menyeluruh dalam menangani maraknya kasus pelecehan seksual yang akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan publik.

Pernyataan ini disampaikan setelah muncul data mencengangkan dari Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh yang mengungkap bahwa mayoritas pelaku berasal dari kalangan terdekat korban, seperti keluarga, tetangga, hingga tokoh agama.

“Ini bukan sekadar angka, ini adalah cermin rusaknya sistem perlindungan kita. Dan yang paling menyakitkan, pelakunya justru orang-orang yang dipercaya,” ujar Ariska, Bendahara Umum KAMMI Banda Aceh, kepada media dialeksis.com, Kamis (10/7/2025).

Menurut KAMMI Banda Aceh, negara dan Pemerintah Aceh selama ini terlalu fokus menghukum pelaku tanpa memperhatikan kebutuhan pemulihan korban.

Padahal, trauma dari kekerasan seksual seringkali membekas seumur hidup, terutama jika korban tidak mendapatkan pendampingan psikologis, dukungan hukum, dan lingkungan yang aman.

“Korban bukan hanya butuh keadilan di pengadilan, tapi juga dukungan untuk pulih secara mental, sosial, dan spiritual. Kita harus melihat ini sebagai krisis kemanusiaan,” tegas Ariska.

Dalam upaya mendorong perubahan nyata, KAMMI Banda Aceh mengusulkan Qanun Jinayat harus direvisi agar sejalan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Perlindungan Anak.

“Qanun kita saat ini belum cukup berpihak pada korban. Ini harus dikaji ulang secara serius,” ujar Ariska.

Selain itu, aparat penegak hukum harus dilatih dengan pendekatan yang berpihak kepada korban, termasuk pemahaman psikologis dan budaya yang menghindari reviktimisasi.

Menurut KAMMI, layanan pengaduan dan perlindungan korban masih sangat terbatas. Harus ada pos layanan di tingkat gampong, sekolah, dan rumah ibadah agar aksesnya lebih dekat dan aman bagi korban.

Ia menambahkan bahwa budaya malu dan bungkam justru menjadi pelindung bagi pelaku kekerasan seksual.

“Kita harus akhiri budaya menyalahkan korban. Masyarakat harus dididik untuk mendukung, bukan menghakimi,” ujar Ariska.

KAMMI Banda Aceh menegaskan bahwa upaya mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab aparat, tapi seluruh elemen masyarakat.

Dalam hal ini, peran aktif mahasiswa, tokoh agama, lembaga pendidikan, dan komunitas untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak dan perempuan.

“Kekerasan seksual bukan urusan pribadi. Ini persoalan publik dan kemanusiaan. Negara harus hadir bukan hanya dengan pasal-pasal hukum, tapi juga empati dan perlindungan nyata bagi korban,” tutup Ariska. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI