Kasus KDRT di Aceh Cenderung Meningkat, Korbannya Tak Pandang Status
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Usia Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah berusia dua dekade sejak disahkan pada September 2024. Mirisnya, kasus-kasus KDRT dari tahun ke tahun trennya cenderung meningkat.
Jika melihat prevalensinya, yang merujuk pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, 1 dari 4 perempuan Indonesia yang berusia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka. Sementara untuk anak, 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih sepanjang hidupnya.
Hal itu disampaikan oleh Plt. Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Tiara Sutari AR, dalam diskusi yang dibuat oleh Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marginal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Jumat (30/8/2024).
Selain Tiara Sutari, diskusi ini juga menghadirkan Siti Farahsyah Addurunnnafis dari LBH Banda Aceh.
“Sementara di Aceh, tren kasusnya juga cenderung naik dari tahun ke tahun. DP3A terus melakukan pengarusutamaan isu penghapusan KDRT agar menjadi perhatian bersama untuk mencegah atau menurunkan kasus ini,” ujar Tiara.
Ia memaparkan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang melaporkan ke UPTD PPA Aceh pada tahun 2019 ada 1.067 kasus, sempat turun menjadi 905 dan 924 kasus pada tahun 2020 dan 2021. Namun, angkanya kembali naik pada 2022 dan 2023, yaitu 1.029 dan 1.098. Jika melihat penurunan kasus pada tahun 2020 dan 2021 menurutnya bukan karena kasusnya yang sedikit, tetapi karena saat itu sedang dalam masa pandemi Covid-19 sehingga banyak yang memilih tidak melapor.
Tiara menjelaskan, orang yang mendapatkan KDRT bisa mengalami atau lebih kekerasan yang mencakup fisik, psikis, seksual, atau verbal. Beberapa hal yang membuat korban biasanya enggan melapor, misalnya, tidak tahu harus melapor ke mana maupun tidak punya support system di keluarga sehingga berpotensi membuat korban semakin terancam jika melapor.
“Korban KDRT ini juga tidak melihat status dan jabatan, bahkan ada yang orang-orang berpendidikan tinggi juga menjadi korban, dan mereka baru berani melapor setelah belasan tahun mengalami kekerasan di rumah tangganya,” katanya lagi.
Kegiatan yang mengangkat tema "Diskusi Kasus KDRT: Pemberitaan dengan Perspektif Korban" itu diikuti oleh sejumlah jurnalis dan Persma yang ada di Banda Aceh.
Sementara itu, Farahsyah dari LBH menuturkan, merujuk pada data yang dirilis Komnas Perempuan, selama 20 tahun sejak UU PKDRT lahir, telah tercatat sebanyak 515.466 kasus KDRT. Dari jumlah itu, 94 persen korban adalah istri.
“Tantangan dalam menyelesaikan kasus pendampingan KDRT juga kompleks, mulai dari masih tingginya budaya patriarki yang bisa memicu terjadinya femisida intim atau pembunuhan terhadap perempuan, hingga ada yang disebut Stockholm Sindrom, termasuk belum semua aparat penegah hukum memiliki perspektif gender yang baik sehingga menjadi bias ketika menangani kasus KDRT,” kata Farah.
Isu ini menurut Farah akan terus menjadi persoalan yang “tidak ada matinya” dan setiap orang dengan kerentanan tinggi berpotensi mengalaminya. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegahnya adalah, para perempuan harus terus meningkatkan kapasitas diri sehingga punya posisi tawar yang setara dengan pasangan/laki-laki.
Adapun untuk pemberitaan kasus KDRT dengan perspektif korban kata Farah, jurnalis atau media massa diharapkan melindungi hak-hak korban seperti menjaga identitas korban, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta tidak menggunakan kata (diksi) yang bermakna bias.