Makam Teungku Syiah Kuala: Jejak Ulama Besar Aceh yang Terus Dikenang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Kompleks makam Teungku Syiah Kuala atau Syekh Abdurrauf As Singkili di Gampong Deyah Raya, Banda Aceh. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kompleks makam Teungku Syiah Kuala atau Syekh Abdurrauf As Singkili, salah satu ulama besar Aceh yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nusantara, menjadi saksi bisu sejarah yang tak lekang oleh waktu.
Terletak di Gampong Deyah Raya, Banda Aceh, makam ini bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir seorang tokoh, tetapi juga menjadi destinasi wisata religi yang sering disambangi oleh peziarah, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Syekh Abdurrauf As Singkili, yang akrab dipanggil Teungku Syiah Kuala, lahir pada tahun 1620 M dan meninggal pada tahun 1693 M dalam usia 73 tahun.
Beliau adalah Mufti Kerajaan Aceh Darussalam yang juga dikenal sebagai ulama penerjemah Al-Quran pertama dalam bahasa Melayu, sebuah kontribusi besar yang membuatnya dikenang sebagai pionir dalam penyebaran agama Islam di Nusantara.
Selain itu, Syekh Abdurrauf juga membawa ajaran tarekat Syattariah, sebuah aliran tasawuf yang berkembang pesat di Aceh dan memberikan pengaruh yang besar terhadap cara pandang dan kehidupan masyarakat hingga saat ini.
Minggu, 18 Agustus 2024, penulis berkesempatan mengunjungi kompleks makam yang penuh sejarah ini. Di tengah suasana yang tenang dengan dentuman ombak yang terdengar sayup-sayup, penulis memarkirkan sepeda motor di depan plang makam.
Matahari yang seharusnya menyinari tempat ini sejak siang, bersembunyi di balik awan, menambah kesan syahdu dan khidmat dari lokasi yang menjadi tempat persemayaman seorang ulama besar.
Kompleks makam ini tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir Teungku Syiah Kuala, tetapi juga sering dijadikan tempat untuk menunaikan nazar oleh peziarah.
Beragam niat dibawa oleh mereka yang datang, mulai dari memohon keselamatan hingga memandikan anak-anak balita di kolam makam sebagai bagian dari nazar yang telah diucapkan.
Namun, para penjaga makam senantiasa mengingatkan agar peziarah tidak terjerumus dalam kemusyrikan. “Semua doa dipanjatkan kepada Allah SWT, bukan kepada pemilik makam,” ujar salah satu khadam makam yang ditemui penulis.
Salah satu tradisi yang masih hidup di tempat ini adalah kenduri nazar. Para peziarah sering menggelar acara tersebut di kompleks makam, termasuk memotong kambing dan memasak kuah beulangong, makanan khas Aceh yang biasanya dihidangkan pada acara-acara besar.
Tidak hanya warga Banda Aceh yang datang berziarah ke makam Teungku Syiah Kuala, tetapi juga warga dari berbagai daerah lain, termasuk dari Sumatera Barat dan bahkan dari luar negeri seperti Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara.
Hal ini menandakan betapa besarnya pengaruh Syekh Abdurrauf sebagai ulama besar yang tak hanya diakui di Aceh, tetapi juga di wilayah-wilayah lain.
Kompleks makam yang sekarang ini “terkurung” di dalam bangunan beton pernah menjadi tempat persinggahan ulama-ulama besar, seperti Syekh Syamsu al-Din Al Sumatrani, yang bersama Syekh Abdurrauf membentuk dan mengembangkan tarekat Syattariah di Aceh.
Tarekat ini sendiri telah memiliki pengaruh besar di dunia Islam, terutama di India, sejak abad ke-15.
Syekh Abdurrauf As Singkili dikenal sebagai ulama yang sangat produktif. Beliau menghasilkan berbagai kitab yang membahas berbagai disiplin ilmu, mulai dari fiqih, tafsir, hadist, hingga tasawuf.
Salah satu warisannya yang paling dikenal adalah penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Melayu, sebuah langkah yang membuka akses pemahaman agama Islam bagi masyarakat di Nusantara.
Selain itu, beliau juga mendirikan dayah pengajian di pesisir pantai Kesultanan Aceh Darussalam, yang kelak membuatnya dikenal dengan sebutan Teungku Di Kuala.
Dalam buku “Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik” karya Prof. Dr. HM Hasbi Amiruddin, disebutkan bahwa Syekh Abdurrauf pernah berguru kepada 19 ulama dari berbagai disiplin ilmu, termasuk belajar di dayah yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama besar lainnya dari Aceh.
Perjalanannya menuntut ilmu membawa beliau ke Mekkah, di mana beliau semakin memperdalam pengetahuan agama dan kembali ke Aceh sebagai ulama yang dihormati.
Penataan ulang kompleks makam Teungku Syiah Kuala terakhir kali dilakukan pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami 2004.
Namun, seiring berjalannya waktu, kondisi makam dan fasilitas pendukungnya membutuhkan renovasi. Khadam makam mengandalkan sumbangan dari para peziarah untuk memperbaiki segala fasilitas yang ada.
Makam ini merupakan salah satu destinasi andalan pemerintah Aceh dalam pengembangan wisata religi di Bumi Serambi Mekkah.
Untuk itu, perlu adanya perhatian lebih dari pihak terkait agar situs bersejarah ini tetap terjaga dan dapat terus memberikan manfaat, baik secara spiritual maupun sebagai bagian dari identitas sejarah Aceh.