kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Meng-Acehkan PSI di Tengah ‘Demokrasi Digital’

Meng-Acehkan PSI di Tengah ‘Demokrasi Digital’

Senin, 05 Maret 2018 18:27 WIB

Font: Ukuran: - +

Ketua DPW PSI Aceh, Kamaruddin. (psi.id)

Meng-Acehkan PSI di Tengah ‘Demokrasi Digital’

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bisa dikatakan partai politik baru di Indonesia saat ini. Parpol yang diketuai oleh mantan presenter berita Grace Natalie ini baru didirikan pasca Pemilu tahun 2014 lalu.

Namun, kiprahnya tak bisa dianggap remeh. Manuver PSI di kancah perpolitikan Indonesia terlihat semakin kentara. Terakhir, partai yang didominasi oleh anak muda ini telah melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk membahas isu-isu nasional.

Begitu pula dengan pergerakan politik PSI di daerah, khususnya di Aceh. Salah satunya yang ditunjukkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PSI Aceh, Kamaruddin. Meskipun namanya mulai melejit, menurut Kamaruddin perjalanan PSI sendiri masih sangat panjang.

Sebagai partai yang relatif baru, tentunya PSI menurut Kamaruddin masih mengalami banyak kendala. Salah satunya kendala utamanya yaitu terkait keyakinan pemilih. Jika para pemilih tidak yakin, maka usaha mesin politik partai juga akan sia-sia.

Ketika keyakinan sudah didapatkan, maka potensi untuk memilih PSI pun semakin besar. Menurut Kamaruddin, kans partai terbesar saat ini dipegang oleh Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Namun, permasalahannya ada sekitar 89 % dari pemilih ini bisa dikatakan pemilih yang mengambang atau abu-abu. Artinya partai baru ini berpotensi. Jadi, nggak hanya yakin, tapi keyakinan itu berdasar," kata Kamaruddin, Minggu (4/3).

Keunikan PSI, kata Kamaruddin terletak pada mayoritas anggotanya yang difokuskan pada segmen anak muda dan perempuan. Ia menambahkan, partisipasi politik terbesar dalam hal mencoblos di Indonesia adalah perempuan.

Untuk merealisasikan hal tersebut, kata Kamaruddin PSI mengoptimalkan promosi dari media sosial. Ia menyebutkan pendekatan ‘demokrasi digital’ yang dilakukan PSI ini karena mayoritas penduduk Indonesia merupakan pengguna internet. Karena itu, pendekatan via media sosial ini menjadi prioritas PSI saat ini.

Sementara terkait tagline yang diusung PSI, kata Kamaruddin, berdasarkan hasil survei yang diinginkan masyarakat berfokus pada dua hal.

"Pertama, keadilan ekonomi dan antikorupsi. Keadilan ekonomi ini kan sudah hampir 40 tahun digaung-gaungkan. Ini kan masalah distribusi ekonomi yang merata. Kerinduan masyarakat Indonesia saat ini adalah adanya keadilan ekonomi," ujarnya.

Untuk mewujudkan dua hal tersebut, terutama dalam konteks Aceh, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPW PSI Aceh, Yuli Zuardi Rais menyebutkan, sejak dari dulu masyarakat Aceh adalah tipikal masyarakat terbuka dan tingkat pendidikannya baik.

"Artinya hubungan masyarakat Aceh dengan pendidikan, media sosial dan hal lain itu sudah selesai. Artinya klop antara profil masyarakat Aceh dengan PSI. Jadi kami ingin meng-Acehkan PSI, bukan mem-PSI-kan Aceh," kata Yuli.

Artinya, sambung Yuli, tema besar keadilan ekonomi dan antikorupsi yang digalakkan PSI akan lebih berfokus pada kekhasan dan karakteristik masyarakat Aceh sendiri.

Dengan banyaknya partai-partai alternatif baru saat ini seperti Perindo, Partai Berkarya, Garuda, dan partai lainnya, Yuli tetap optimis dengan peluang PSI ke depan.

"Struktur partai kita di Aceh itu lengkap dan dibangun dengan serius. Artinya tidak hanya di level media sosial, tapi di tingkat grassroot (akar rumput)-nya juga lengkap. Dan mereka anak-anak muda semua, jadi tingkat militansi dan loyalitas mereka terhadap partai itu jelas," ujar Yuli.

Terkait labelisasi negatif terhadap PSI saat ini yang sedang gencar diisukan, yaitu yang menyebutkan bahwa PSI merupakan penjelmaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sebagai partai Kristen, dia mengatakan isu tersebut jelas-jelas hoax.

Yuli menyebutkan, bagi masyarakat yang tidak tahu permasalahan tidak langsung menghakimi. Itulah salah satu konsekuensi dari ‘demokrasi digital’, kata Yuli. Setiap orang bisa mengatakan apa saja di media sosial.

"Sebenarnya kan Islam di Aceh ini kan sudah kosmopolit, Islam yang terbuka sejak dari zaman dulu sudah berhubungan dengan dunia luar. Jadi kalau sekarang sudah muncul isu-isu politik yang kita lihat sekarang di dunia digital, itu sebenarnya lebih kepada momen politik saja," tuturnya.

Dia meyakini isu-isu negatif serupa tak akan bertahan lama. Dalam beberapa waktu ke depan juga akan memudar dan masyarakat akan bersikap dewasa menanggapi persoalan ini.

Kamaruddin menyarankan agar politisi sekarang harus kuat karena cepatnya perkembangan informasi, transformasi gagasan dan politik juga bergerak cepat dalam era demokrasi digital ini.

"Dan itu yang membuat berbeda dengan sebelumnya. Yang sekarang diserang kan ideologi dan keyakinan. Makanya kalau ada orang yang tidak belajar dari proses demokrasi digital, maka akan jatuh. Untuk itulah PSI hadir, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait transformasi politik," kata Kamaruddin.

Sementara terkait target kursi dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 mendatang untuk DPR RI dan DPRA, Kamaruddin menyebutkan sekitar dua kursi untuk DPR RI dan tiga atau empat kursi untuk DPRA.

Yuli menegaskan bahwa bonus demografi yang sedang dialami di Indonesia saat ini juga harus dimanfaatkan oleh PSI. Beberapa negara, seperti AS dan China sudah melampaui hal tersebut.

Regenerasi yang sedang terjadi ini, kata Yuli terjadi dalam beberapa dimensi, seperti dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Ia mengatakan PSI melihat dimensi politik ini harus diisi oleh anak-anak muda.

"PSI melihat politik ini perlu diisi juga oleh orang-orang muda, dan itu mau nggak mau akan terjadi. Untuk memsistematiskan bonus demografi ini mencapai satu titik kilmaks yang benar terhadap negara ini, maka PSI hadir," pungkasnya. []

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda