DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman mengatakan setelah melewati jalan panjang dan berliku selama dua dekade, revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) akhirnya menemukan momentum kuatnya.
Yang menarik, keberhasilan inisiatif ini tak hanya milik satu generasi kepemimpinan nasional, tapi menjadi buah dari konsistensi dan kesinambungan tiga Presiden Republik Indonesia: Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Prabowo Subianto.
Bermula dari perdamaian di utara Eropa. Pada 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia yang menghasilkan penandatanganan Memorandum of Understanding antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Perjanjian damai yang mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun itu tidak lahir dari kekosongan, melainkan hasil dari negosiasi panjang dan kepemimpinan politik.
“MoU Helsinki bukan hanya tentang meredam konflik, tetapi juga menciptakan kerangka hukum yang adil dan berkelanjutan bagi Aceh. Inilah warisan besar dari Presiden SBY,” ujar Teuku Kamaruzzaman, Juru Bicara Pemerintah Aceh kepada media dialeksis.com, di Banda Aceh, Sabtu (26/7/2025).
Perjanjian Helsinki mengatur aspek-aspek krusial seperti demobilisasi pasukan, reintegrasi mantan kombatan, pembentukan partai lokal, pengelolaan sumber daya alam, hingga pembagian pendapatan. Dari sinilah akar rumusan awal UUPA tumbuh dan berkembang.
Namun, sebelum MoU Helsinki, Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001, melalui UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Megawati membuka ruang keleluasaan fiskal dan kewenangan khusus bagi Aceh.
“Dana Otsus 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional selama 20 tahun, sebagaimana termuat dalam UU Otsus 2001, adalah fondasi penting dari kekhususan Aceh. Ini menjadi inspirasi bagi banyak klausul dalam UUPA 2006,” jelas Kamaruzzaman.
Saat itu, Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan kalangan akademisi yang tergabung dalam Forum Rektor Aceh menyusun konsep UUPA dengan mengacu langsung pada UU Otsus 2001.
Tak heran, banyak elemen keberpihakan fiskal dan kewenangan lokal yang menjadi ciri khas Aceh hingga saat ini, merupakan refleksi dari visi kebijakan Megawati pada masa itu.
Pada tahun 2025. Draft Revisi UUPA yang telah disusun oleh DPR Aceh dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, telah resmi diserahkan kepada Badan Legislasi dan Komisi II DPR RI. Isinya tentang perpanjangan Dana Otsus, penguatan kewenangan daerah, serta sistem pembagian pendapatan yang lebih adil bagi Aceh.
“Jika DPR RI dan Pemerintah Pusat menyetujui revisi ini, maka Presiden Prabowo Subianto akan mencatatkan sejarah sebagai pemimpin yang mengukuhkan kembali komitmen negara terhadap kekhususan Aceh,” tegas Kamaruzzaman.
Ia juga mengapresiasi kesediaan Komisi II DPR RI untuk hadir langsung ke Banda Aceh dan mendengarkan langsung suara rakyat. Pertemuan penting itu berlangsung di Ruang Serbaguna Kantor Gubernur Aceh, dihadiri oleh perwakilan dari Pemerintah Aceh serta seluruh Bupati dan Wali Kota se-Aceh.
“Atas nama Pemerintah dan Rakyat Aceh, kami memberikan penghormatan dan terima kasih atas kesediaan Pimpinan dan Anggota Komisi II DPR RI yang telah mendengar dan mencatat setiap aspirasi kami,” pungkas Kamaruzzaman.