Tutup Celah Kesempatan Menipu, Akademisi Jelaskan Cara Elegan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Dosen PGMI UIN Ar-Raniry, Yuni Setia Ningsih. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kali ini, penipuan berkedok minta uang tambahan untuk keperluan ujian menyasar siswa di Aceh.
Di Aceh Barat, terdapat sejumlah siswa dan orangtua di SMP Negeri 2 Pante Ceureumen ditipu penelepon gelap yang mengatasnamakan guru sekolah. Penipu itu meminta pulsa dan uang senilai ratusan ribu rupiah dengan metode transfer bank.
Merespons kejadian ini, Akademisi Pendidikan Guru Mandrasah Ibtidayah (PGMI) Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh Yuni Setia Ningsih mengaku prihatin terhadap siswa korban penipuan ini.
"Kasihan sekali para siswa itu. Mungkin awak media juga harus memblowup kasus-kasus penipuan seperti ini. Diberitakan terus, jangan sampai yang lain ikut menjadi korban," kata Yuni kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Senin (22/11/2021).
Dirinya yang juga korban pencatutan nama oleh oknum penipu mengecam aksi penipuan terhadap perserta didik dengan modus operandi apapun.
Ia bercerita bahwa selama dirinya menjadi Ketua Prodi PGMI UIN Ar Raniry, ada penipu yang memanfaatkan namanya untuk menipu para mahasiswa.
Penipu ini meminta pulsa kepada mahasiswa dengan jumlah yang bervariasi sehingga ketika ditaksir kerugian penipuan itu mencapai Rp500 ribu.
"Kejadiannya sampai beberapa kali, mungkin kalau ditotal habis Rp500 ribu. Terakhir baru dikonfirmasi sama saya, ditanya apa betul ini nomor ibu? Bukan saya bilang," ujarnya.
Dalam hal ini, Yuni tidak menyalahkan para korban. Ia sendiri juga hampir menjadi korban penipuan dengan modus lelang barang keperluan IT.
Cikal-bakal seseorang bisa tertipu, Yuni menduga bisa terjadi akibat sugesti kepanikan. Ia mengatakan, piawainya para penipu dalam mempermaikan perasaan calon korban terkadang membuat korban terpaksa terjerumus ke dalam jeratan penipu tanpa disadari.
Padahal, Yuni berharap agar di era serba kemudahan komunikasi ini, para pemakai gawai bisa lebih hati-hati dalam menerima segala panggilan masuk dari nomor yang tak diketahui jelas sumbernya.
"Pada prinsipnya, berbaik sangka ke setiap orang harus kita lakukan, cuman pada kondisi tertentu apalagi pada jaman sekarang, kita juga harus lebih waspada," tuturnya.
Kiat menghindari upaya penipuan, Yuni menegaskan bahwa usaha memberantas penipu dan kentalnya budaya pungutan tak resmi menjadi dua hal yang dilematis.
"Kita bingung juga, satu sisi pemerintah mengatakan tidak boleh ada pungutan. Tapi kadang-kadang di belakangnya, ada pungutan tertentu yang mengharuskan untuk dipungut. Misal, benar-benar untuk kebutuhan fasilitas sekolah," tukasnya.
"Nah, moment seperti itu bisa saja dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggungjawab. Pungutan tak resmi itu bisa menjadi sebuah modus yang bisa menggiring orang yang memang tidak bertanggungjawab untuk memanfaatkan moment tersebut," sambungnya.
Namun, seseorang bisa masuk perangkap penipu atau tidak, kata Yuni, semuanya kembali pada pribadi masing-masing.
"Semakin tinggi seseorang waspada, atau semakin tinggi seseorang mengonfirmasi terhadap segala informasi yang datang, maka chance (peluangnya) untuk tertipu akan semakin rendah," jelasnya.
Ujian! Uji Kemampuan Bukan Uji Uang
Menyorot soal korban tertipu dengan embel-embel tambahan nilai, Yuni menjelaskan, ketidakpercayaan seseorang terhadap kemampuan anaknya terkadang membuat orangtua berpikir ada jalan pintas yang mampu meluluskan sang anak dengan uang.
Mindset seperti ini, kata Yuni, perlu dihilangkan di lingkungan sosial. Padahal, sambung Yuni, seorang anak dengan kemampuan yang seadanya pasti lulus sekolah. Kecuali jika ada banyak siswa yang tak lulus, maka dapat diindikasi bahwa ada masalah di sekolahnya.
"Ngapain kita takut anak tak lulus sehingga harus bayar ini dan itu. Kalau nggak lulus, ya, sekolahnya yang kenak, bukan siswanya. Seharusnya kalau mau berpikir sampai ke situ, mungkin kejahatan-kejahatan penipuan ini bisa diminimalisir," ungkapnya.
Stigma Anak Tak Lulus Ujian
Kadar kelulusan seorang siswa, terkadang siswa tak lulus juga dilabeli dengan stigma negatif di lingkungan masyarakat. Membaca alur fenomena sosial, terkadang orangtua sangat memproteksi anaknya agar tak menjadi bahan gunjingan tetangga.
Sehingga, ada orangtua yang memaksa diri bahwa kelulusan di sekolah adalah kiblat yang harus dicapai sang anak. Dalam artian, orangtua akan menghalalkan segala sesuatu supaya sang anak bisa lulus sekolah meski harus mengeluarkan uang untuk membeli jawaban ujian atau membayar untuk tambahan nilai.
"Ketidaklulusannya itu harus menjadi refleksi bagi si anak. Orangtua harus berpikir ke situ. Jadi anak itu pun nanti dengan ketidaklulusannya itu mendapat pelajaran tersendiri. Kalau memang perilaku si anak tidak sesuai aturan di sekolah misalnya sering bolos. Namun ternyata lulus juga dengan bisa dibayar. Nah, kelakuan seperti itu akan terekam bagi siswa itu nanti," jelasnya.
Tutup Celah Kesempatan Menipu
Menakar kerawanan objek penipuan, sekolah swasta disebutkan lebih rawan menjadi objek penipuan dikarenakan secara sistem sekolah swasta ada yang memungut SPP kepada siswa.
Berbeda dengan sekolah negeri, sekolah swasta terkadang juga meminta pelunasan SPP sebagai syarat siswa untuk ikut ujian.
Kondisi yang demikian, Yuni berharap agar pihak sekolah swasta yang juga mengutip SPP supaya sistem pembayarannya dilakukan dengan sistem yang ketat dan tak memberi celah bagi oknum-oknum untuk memuluskan modus penipuan.
"Kalau pengutipan SPP dilakukan secara resmi, maka jalur pembayarannya juga harus resmi. Misal kalau biasa bayar SPP di sekolah, maka meminta-minta secara transferan perlu diwaspadai. Terapkan program, dan lakukan sesuai prosedur," pungkasnya.