Kaji Ulang Keberadaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Font: Ukuran: - +
Reporter : Aryos Nivada
DIALEKSIS.COM | Analisis - Jika kita telisik di UUD 1945 telah diatur mengenai politik hukum sistem perekonomian nasional, dimana negara mendapat peran strategis dalam kegiatan ekonomi.
Peran strategis ini antara lain sebagai penjamin (provider) kesejahteraan negara, pengatur (regulator), pengusaha (entrepreneur), dan wasit (umpire) yang menentukan standar-standar yang adil, baik bagi perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Peran strategis itulah memberikan kewenangan negara untuk menguasai bidang-bidang produksi penting yang terkait dengan pengelolaan hajat hidup orang banyak.
Berkaitan dengan fungsi strategis negara dalam bidang ekonomi tersebut, maka keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan instrument negara yang memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme korporasi.
Lebih lanjut memahami, ternyata mekanisme korporasi ini identik dengan profit oriented, sementara perusahaan negara maupun daerah salah satu misinya menyelenggarakan pelayanan umum (public service).
Dengan demikian, ketika negara berperan sebagai salah satu pemain dalam bidang bisnis atau perekonomian, maka keempat fungsi penting sebagaimana telah disebutkan di atas harus bisa dijalankan dengan proporsional dan tidak saling berbenturan.
Nyatanya dalam realitas, negara melakukan penyertaan modal secara langsung dengan mendirikan perusahaan berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Korelasinya dalam konteks keberadaan BUMD, bahwa Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) merupakan landasan hukum bagi daerah dalam mengelola kegiatan pemerintahan di daerah, termasuk kegiatan perekonomiannya berdasarkan asas otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia serta membangun kemandirian daerahnya.
Ketika memahami eksistensi keterlibatan Pemerintah Daerah melakukan kegiatan bisnis, dimana kepemilikan atas bisnis itu adalah hakikatnya secara kolektif (dimiliki oleh masyakarat), maka seyogyanya kemanfaatannya harus lebih banyak dirasakan oleh masyarakat.
Artinya, dalam bidang usaha strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, paradigma keuntungan yang diperoleh orientasinya peningkatan pelayanan publik yang optimal bagi masyarakat (warganya).
Tafsir pemahaman lainnya, BUMD dianggap untung apabila telah mampu menyelenggarakan kemanfaatan umum, dimana produktivitas dari BUMD tersebut mampu memberikan kesejahteraan serta kenikmatan bagi masyarakat luas di daerahnya.
Idealitas vs Realitas
Dari penelusuran menilai fakta keberadaan BUMD, merujuk hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berjudul “Revitalisasi BUMD Dalam Perekonomian Daerah”, menyebutkan kontribusi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada pendapatan atau kas daerah masih sangat kecil, dan lebih banyak membebani anggaran negara. Salah satu masalah dalam pengelolaan BUMD sebagai sebuah entitas bisnis adalah adanya benturan visi yang ingin dicapai dengan misi yang dilakukannya (Iwa Sarana: 2010, LIPI Press).
Sebuah penelitian lain dari Wihana Kirana Jaya (2007) dipublikasi Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada menerangkan faktor internal organisasi berupa tuntutan fungsi sosial BUMD menyebabkan BUMD tidak fokus terhadap visi utamanya, yaitu mengembangkan perekonomian daerah untuk mendukung kepentingan nasional melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hal ini semakin diperparah dengan kentalnya muatan kepentingan politis dalam gerak aktivitas bisnis BUMD. Acapkali dijumpai kasus, dimana manajemen yang dinilai bagus oleh publik justru tergantikan seiring dengan pergantian rezim pemerintahan daerah secara penguasaan politik di eksekutif.
Belum lagi realitas menggambarkan di sejumlah daerah, seperti Aceh misalnya, dirasakan masih minim dukungan dari parlemen lokal (DPRA/DPRK) untuk mendukung secara optimal roda bisnis dari BUMD.
Legalitas Hukum
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah, dalam ketentuan umum pasal 1 disebutkan Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
Dasar hukum pembentukan BUMD adalah UU No.5 tahun 1962 tentang perusahaan daerah. Undang-undang ini telah memberikan pengertian tentang perusahaan daerah, dimana dititikberatkan kepada faktor permodalan yang dinyatakan untuk seluruhnya atau sebagiannya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Seperti disebutkan dalam Pasal 2 bahwa “perusahaan daerah ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan undang-undang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang”.
BUMD menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
Terdapat dua bentuk BUMD, yaitu: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu Daerah dan tidak terbagi atas saham, dan 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh satu Daerah.
Dari pengamatan terhadap peraturan perundang-undangan ditemukan belum adanya Undang-undang tentang Badan Usaha Milik Daerah pengganti UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah sebagai payung hukum BUMD. Kondisi ini sangat berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara dimana telah memiliki payung hukum yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Konsep pengelolaan BUMD non persero (Perusahaan Daerah/Perusahaan Umum Daerah) dimungkinkan dengan model pengelolaan BUMD dengan sistem ”swakelola mandiri”. Konsep pengelolaan ini menggunakan sistem pengawasan ataupun pembinaan secara bertanggungjawab dan intensif.
Pengelolaan BUMD dilakukan dengan pengawasan dan pembinaan secara langsung oleh pemangku kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah selaku pemegang otoritas tertinggi di pemerintah daerah.
Kewenangan pemerintah daerah selaku pemegang otoritas dapat melakukan ”intervensi kebijakan” dalam konteks yang positif terkait kinerja dari BUMD melalui dewan pengawas.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa dalam pengelolaan BUMD salah satunya harus mengandung unsur tata kelola perusahaan yang baik. Namun demikian, peraturan pemerintah maupun peraturan lain yang mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai tata kelola perusahaan yang baik dalam pengelolaan BUMD tersebut belum dikeluarkan.
Sementara konsep pengelolaan BUMD persero (Perseroan Terbatas/Perusahan Perseroan Daerah), berdasarkan Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Badan Hukum BUMD, menyatakan bahwa BUMD berbentuk perseroan terbatas tunduk pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.
Pendirian dan pelaksanaan fungsi BUMD sebagai bagian dari hak kekayaan daerah yang dipisahkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah yang merupakan pendelegasian dari beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Yakni Pasal 331 ayat (6), Pasal 335 ayat (2), Pasal 336 ayat (5), Pasal 337 ayat (2), Pasal 338 ayat (4), Pasal 340 ayat (2), Pasal 342 ayat (3) dan Pasal 343 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaannya, PP ini tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma dasar dan juga beriringan dengan beberapa peraturan perundang-undangan terkait dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya antara lain: Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Keuangan Daerah, Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
Terkait kebijakan manajemen organisasi BUMD, pemda memiliki kuasa penuh dalam pengangkatan, pemberhentian maupun resktrukturisasi direksi di BUMD.
Pasal 63 PP 54 Tahun 2017 menyebut, Jabatan anggota Direksi berakhir apabila anggota Direksi: (a.) meninggal dunia; (b.) masa jabatannya berakhir; atau (c.) diberhentikan sewaktu-waktu.
Terkait dapat diberhentikan sewaktu waktu, Pasal 65 ayat (2) huruf g PP 54 Tahun 2017 menyebut alasan tidak terpilih lagi karena adanya perubahan kebijakan Pemerintah Daerah dalam hal Restrukturisasi, likuidasi, akuisisi, dan pembubaran BUMD.
Kajian Regulasi & Realitas BUMD
Pengaturan terkait pengelolaan dan pengembangan BUMD tidak secara khusus memberikan arahan atau pedoman dalam pengelolaan BUMD, sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan payung hukum dalam bentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah.
Selain permasalahan payung hukum tersebut, pengelompokan BUMD yang masih belum jelas menyebabkan distorsi terkait pengelolaan BUMD.
Selain itu dalam hal pengawasan, belum ada kejelasan institusi yang berwenang melakukan pengawasan terhadap BUMD agar ada kepastian hukum mengenai hasil pengawasan yang dapat dijadikan pegangan dalam hal ada perbedaan hasil pengawasan dari BPK dan BPKP.
Pemberian wewenang dan pendelegasian kebijakan juga dirasakan di regulasi masih sempit terutama dalam hal operasional. Campur tangan Pemda dalam berbagai hal dalam menjalankan usaha BUMD dalam realitas menimbulkan kekhawatiran terkait perkembangan BUMD itu sendiri.
Dalam realitas juga terkesan oleh publik, eksistensi BUMD hanya keinginan dari eksekutif. Inisiasi BUMD memang tampak dari usulan eksekutif selama ini. Sementara itu, publik melihat tidak ada keseriusan dari legislatif untuk mendukung secara optimal terutama segi anggaran.
Kemudian pengelolaan BUMD di daerah terkesan tidak profesional, karena amat dinamisnya terjadi pergantian dewan direksi seiring pergantian rezim pemerintahan lokal. Sehingga faktor kedekatan dengan rezim lokal dinilai menjadi penentu posisi direksi bukan pada faktor kinerja maupun profesionalitasnya dalam bekerja.
Rekomendasi
Perlu ada sebuah paradigma baru dalam melihat tata kelola BUMD di daerah. Berikut sejumlah rekomendasi dapat dipertimbangkan untuk para pengambil kebijakan (multi stakeholder).
Pertama, mengenai keuntungan BUMD seyogyanya tidak melihat keuntungan dalam konteks material yang masuk ke dalam kas daerah semata, namun keberhasilan penyelenggaraan kepentingan umum (pelayanan umum) sebagai parameter baru dalam konsep keuntungan (provit) bagi pemerintah daerah.
Kedua, perlu perubahan orientasi pembangunan BUMD di daerah. Legislatif harus memberi dukungan penuh kepada BUMD, terutama dalam hal plot alokasi anggaran. Selain itu juga harus mendapat dukungan penuh dari masyarakat maupun pemerintah provinsi.
Ketiga, perlu perubahan regulasi kebijakan terkait BUMD agar terbebas dari kepentingan politis praktis. Untuk konteks Aceh, hal itu dapat dilakukan dengan merancang Qanun dalam rangka menjaga profesionalisme direksi sekaligus memastikan roda bisnis BUMD berjalan sebagaimana mestinya.
Perubahan regulasi diantaranya pengelolaan BUMD harus jangka panjang. Minimal 10 tahun untuk menghindari silih pergantian kebijakan dan program. Sehingga direksi tidak bisa sembarangan dirotasi meski terjadi rotasi kekuasaan lokal.
Keempat, Penumbuhan dan pengembangan BUMD perlu dibina dan dilaksanakan, khususnya yang bermotifkan laba usaha untuk meningkatkan penerimaan bagian laba perusahaan daerah bagi PAD, melalui peningkatan keahlian dan profesionalisme direksi beserta stafnya dalam menjalankan perusahaan sebagai usaha komersial murni yang mengutamakan pertimbangan efisiensi, dan pencapaian laba usaha yang memadai.
Tentunya, bila ingin BUMD di Aceh berkembang lebih maju dan professional dari sekarang, para pengambil kebijakan (multi stakeholder) harus mengambil kebijakan. Pandanglah BUMD Aceh untuk puluhan tahun ke depan.
Paradigma baru harus diciptakan. Karena BUMD itu milik publik, sudah saatnya BUMD di Aceh itu dilakukan pembenahan. Para multi stakeholder harus menunjukan sikapnya, mengambil kebijakan demi semakin baik dan profesionalnya BUMD di Aceh. Semoga……
Penulis: Aryos Nivada (Direktur Utama Lingkar Sindikasi Grup)