Senin, 22 September 2025
Beranda / Analisis / Polemik Tapal Batas di Aceh: Konflik Wilayah Kabupaten/Kota yang Belum Tuntas

Polemik Tapal Batas di Aceh: Konflik Wilayah Kabupaten/Kota yang Belum Tuntas

Senin, 22 September 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ambo Asse Ajis

Arkeolog, Ambo Asse Ajis. Foto: dok pribadi 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Aceh masih menghadapi sengketa tapal batas wilayah yang belum terselesaikan hingga tahun 2025. Persoalan perbatasan administratif ini seringkali memicu polemik di tingkat lokal, bahkan berpotensi menimbulkan gesekan antarwarga. Meski pemekaran wilayah di Aceh telah berlangsung sejak dua dekade lalu, pada kenyataannya masih terdapat segmen-segmen batas daerah yang belum ditetapkan secara definitif dan adil (Antaranews.com, 2025).

Akibatnya, pemerintah daerah serta masyarakat setempat kerap terlibat dalam saling klaim wilayah, yang ramai diberitakan di berbagai media dan diperbincangkan di media sosial. Berikut ini sejumlah kasus tapal batas antar kabupaten/kota di Aceh yang menonjol dalam pemberitaan media periode 2023 hingga September 2025.

Aceh Barat - Nagan Raya: Sengketa Batas PLTU 3-4

Salah satu konflik tapal batas paling disorot terjadi antara Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya, khususnya di kawasan sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 3-4. Setelah pemekaran Nagan Raya sejak awal 2000-an, penegasan batas dengan Aceh Barat tak kunjung tuntas. Kedua pemerintah kabupaten sebenarnya pernah menyepakati garis batas pada tahun 2021 yang difasilitasi Kemendagri, namun hingga kini keputusan resmi berupa Permendagri belum diterbitkan. Dalam draf Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2025-2045 sempat tercantum PLTU 3-4 berada di Aceh Barat, namun hal ini diprotes oleh perwakilan Nagan Raya yang menyatakan seluruh dokumen perizinan PLTU tersebut atas nama Nagan Raya (Titik.co, 2025).

Perselisihan ini berujung pada saling kirim surat ke pemerintah pusat. DPRK Aceh Barat menolak batas versi 2021 karena dinilai merugikan Aceh Barat - sekitar 600 hektare wilayah (termasuk area PLTU) bisa beralih ke Nagan Raya (aentenews.com, 2025; Titik.co, 2025). Pada Mei 2025, DPRK Aceh Barat bahkan meminta Mendagri menunda penetapan Permendagri batas tersebut karena khawatir terjadi konflik kepentingan di lapangan (Titik.co, 2025). Di sisi lain, pihak Nagan Raya bersikeras pada kesepakatan 2021. Kondisi ini memicu Kemendagri mengeluarkan surat pada 19 Agustus 2025 yang memerintahkan Gubernur Aceh menengahi dan memfasilitasi penyelesaian sengketa batas Aceh Barat-Nagan Raya. DPRK Aceh Barat melalui ketuanya, Ahmad Yani, mendesak Pemerintah Aceh segera menindaklanjuti instruksi tersebut agar keterlambatan penanganan tidak melegitimasi hilangnya wilayah Aceh Barat (aentenews.com, 2025). DPRK Aceh Barat mengusulkan agar peta batas tahun 2014 dijadikan acuan, karena dianggap lebih sesuai dengan RTRW dan aspirasi masyarakat setempat dibanding peta kesepakatan 2021. Hingga September 2025, konflik tapal batas ini masih berproses, dengan harapan keputusan yang adil dapat tercapai tanpa memicu keresahan baru di tengah masyarakat.

Perlu dicatat, permasalahan batas wilayah Nagan Raya tak hanya dengan Aceh Barat. Kabupaten pemekaran ini juga memiliki sengketa tapal batas yang belum beres dengan dua kabupaten tetangganya, yakni Aceh Tengah dan Aceh Barat Daya (ajnn.net, 2025). Situasi ini menunjukkan bahwa penataan batas pasca-pemekaran di Aceh memerlukan penegasan lebih lanjut dari pemerintah provinsi sesuai mandat Permendagri No. 141/2017 tentang Penegasan Batas Daerah (Antaranews.com, 2025).

Aceh Tengah - Nagan Raya: Polemik Tanoh Depet

Konflik tapal batas lainnya yang mencuat adalah antara Kabupaten Aceh Tengah dan Nagan Raya, terutama di kawasan hutan Tanoh Depet, Kecamatan Celala (Aceh Tengah). Sengketa ini bermula dari kesepakatan rahasia yang dibuat Bupati Aceh Tengah saat itu (Shabela Abubakar) dengan Bupati Nagan Raya pada 22 Juni 2021 di Jakarta, tentang penentuan garis batas baru (kennews.id, 2023). Kesepakatan 2021 tersebut ditandatangani tanpa sepengetahuan luas masyarakat Aceh Tengah, sehingga menimbulkan protes ketika rencana implementasinya terungkap belakangan. Pada November 2023, aparatur Aceh Tengah berencana melakukan pemetaan dan pemasangan tiang batas utama di perbatasan dengan Nagan Raya. Rencana ini segera ditolak oleh Reje (kepala desa) Kampung Tanoh Depet, Muhammad Daud, karena dianggap merugikan warga (kennews.id, 2023). Jika tapal batas versi 2021 itu disahkan, wilayah dua kampung (Tanoh Depet dan Depet Indah) akan terbelah: rumah warga tetap di Aceh Tengah, namun lahan kebun mereka masuk ke Nagan Raya, meski jaraknya berdekatan. Warga menilai hal ini akan menyulitkan administrasi dan dapat dianggap sebagai “pencaplokan” wilayah Aceh Tengah oleh Nagan Raya (kennews.id, 2023).

Penolakan keras disuarakan tidak hanya oleh masyarakat setempat, tapi juga oleh seluruh fraksi di DPRK Aceh Tengah. Pada akhir 2023, DPRK Aceh Tengah secara kompak menolak tapal batas versi kesepakatan 2021 tersebut (kennews.id, 2023). Mereka mendesak agar Pemerintah Aceh dan Kemendagri meninjau ulang keputusan yang diambil sepihak tanpa transparansi kepada publik. Alasan penolakan bukan semata soal garis di peta, melainkan kekhawatiran hilangnya aset wilayah Aceh Tengah yang kaya hutan dan hasil bumi. Pihak Nagan Raya diduga berkepentingan karena potensi sumber daya alam di kawasan perbatasan itu cukup tinggi. Perkembangan terbaru, elemen masyarakat dan pemuda Aceh Tengah (KNPI setempat) mendorong pemerintah kabupaten melayangkan surat resmi ke Kemendagri agar menunda penetapan batas hingga tercapai solusi berkeadilan (bacaberita.co, 2023). Dengan mediasi provinsi yang masih berjalan, tapal batas Aceh Tengah-Nagan Raya ini per September 2025 belum memiliki ketetapan final dan masih berstatus status quo mengikuti batas administrasi lama sambil menanti keputusan pemerintah pusat.

Aceh Timur - Aceh Tamiang: Sengketa Simpang Jernih

Di wilayah Aceh bagian timur, sengketa batas terjadi antara Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang. Persoalan ini berakar dari pemekaran Aceh Tamiang dari Aceh Timur pada tahun 2002; terdapat ketidaksesuaian persepsi terhadap garis batas lama. Fokus konflik terletak di perbatasan Kecamatan Simpang Jernih (Aceh Timur) dengan Kecamatan Bandar Pusaka (Aceh Tamiang). Tokoh masyarakat Simpang Jernih bersikukuh bahwa batas administratif harus merujuk pada peta tahun 1978 (sebelum Aceh Tamiang dimekarkan), sementara pihak Aceh Tamiang diduga mengacu pada batas versi pemekaran yang bergeser masuk ke wilayah Aceh Timur (metropesawat.com, 2025). Akibat perbedaan klaim ini, beberapa insiden terjadi, termasuk pemblokiran akses oleh warga dan kerusakan jembatan penghubung antardesa di perbatasan kedua kabupaten (antara Gampong Pusong, Aceh Timur dan Gampong Baroh Lancok, Pidie Jaya - kasus terpisah di wilayah lain) (ajnn.net, 2020).

Hingga pertengahan 2025, upaya mediasi telah dilakukan oleh pemerintah provinsi. Pertemuan pada 31 Juli 2025 di Kantor Bupati Aceh Tamiang yang melibatkan Muspika Simpang Jernih, Pemkab Aceh Tamiang, serta Biro Pemerintahan Aceh berakhir tanpa kesepakatan final. Warga Aceh Timur merasa belum mendapatkan hasil yang diharapkan, sehingga bertekad mempertahankan hak wilayahnya. Seorang tokoh Simpang Jernih menegaskan akan memperjuangkan masalah ini hingga ke jalur hukum jika perlu, dan meminta Bupati Aceh Timur bersama-sama membela batas sesuai peta lama (metropesawat.com, 2025). Pihaknya menuduh Aceh Tamiang “nekat mencaplok” tanah Aceh Timur, mungkin karena Aceh Tamiang kekurangan lahan pertanian bagi warganya. Sengketa ini masih berproses dan menunggu ketegasan Pemerintah Aceh sebagai penengah. Pemerintah provinsi diharapkan segera menetapkan garis batas resmi agar tidak menimbulkan konflik berlarut-larut di lapangan (metropesawat.com, 2025).

Subulussalam - Aceh Selatan: Konflik Tapal Batas Lae Mate

Kasus tapal batas lainnya yang mencuat di media adalah konflik wilayah antara Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Selatan. Sengketa ini berpusat di kawasan Kampong Lae Mate, Kecamatan Rundeng, Subulussalam, yang berbatasan dengan Aceh Selatan. Persoalan dipicu oleh klaim sepihak sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Aceh Lestari Indo Sawita (ALIS), terhadap lahan di desa tersebut. Perusahaan tersebut menganggap lahan konsesinya masuk wilayah Aceh Selatan, padahal warga setempat meyakini area itu secara administratif masih termasuk Kota Subulussalam (metro7news.com, 2025). Akibatnya, terjadi sengketa lahan antara warga empat desa di Rundeng (Lae Mate, Dah, Tualang, dan Mandilam) dengan pihak perusahaan, yang dituding melakukan penyerobotan lahan milik warga. “Seenaknya saja perusahaan mengklaim wilayah tersebut masuk Aceh Selatan. Padahal itu masih wilayah Kota Subulussalam,” keluh seorang warga Lae Mate menggambarkan keresahan mereka (metro7news.com, 2025).

Konflik ini memanas sepanjang tahun 2025 dan mendapat sorotan luas. Warga telah mengadukan nasib mereka hingga ke tingkat pusat. Pada 14 September 2025, Muslim Ayub - anggota DPR RI Komisi III asal Aceh - turun langsung menemui masyarakat di Desa Lae Mate Lama (metro7news.com, 2025). Didampingi anggota DPRA dan DPRK setempat, ia meninjau lahan sengketa dan mendengar keluhan warga. Muslim Ayub berjanji akan membantu advokasi penyelesaian tapal batas ini dengan membentuk tim khusus, serta berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh dan Kementerian ATR/BPN. Ia menegaskan akan membawa masalah ini ke Jakarta secepatnya demi mencari solusi (metro7news.com, 2025). Langkah tersebut memberi harapan baru bagi warga, namun hingga akhir September 2025, sengketa tapal batas Subulussalam-Aceh Selatan ini belum tuntas secara legal. Kasus ini menunjukkan kelalaian masa lalu dalam penegasan batas ketika Subulussalam dimekarkan (dulu bagian dari Aceh Singkil), yang kini berujung kegaduhan karena dimanfaatkan pihak berkepentingan. Publik Aceh di media sosial ramai mendiskusikan isu ini, mengingat dampaknya langsung dirasakan masyarakat lokal yang kehilangan lahan garapan mereka.

Penutup: Urgensi Penyelesaian Tapal Batas di Aceh

Kasus-kasus di atas menggambarkan bahwa sengketa tapal batas antar daerah di Aceh masih menjadi pekerjaan rumah yang mendesak. Berlarut-larutnya penuntasan batas wilayah tidak hanya memicu konflik sosial, tapi juga berdampak pada ketidakpastian administrasi dan potensi kehilangan Pendapatan Asli Daerah bagi kabupaten/kota terkait. Sesuai ketentuan, Pemerintah Aceh memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan batas antarkabupaten melalui mediasi gubernur. Berbagai elemen masyarakat sipil pun telah mendesak pemerintah provinsi lebih proaktif dan tegas menuntaskan persoalan ini. Diperlukan langkah percepatan penyelesaian dengan pendekatan hukum yang berkeadilan, mengacu pada data historis dan kesepakatan bersama, agar setiap pihak dapat menerima penegasan batas secara definitif. Dengan kejelasan tapal batas, diharapkan tidak ada lagi saling klaim wilayah di Aceh, sehingga stabilitas daerah terjaga dan fokus pembangunan bisa kembali ditingkatkan tanpa bayang-bayang konflik perbatasan.

Penulis: Arkeolog, Ambo Asse Ajis 

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid