CPCD Unhas: Merawat Demokrasi dengan Kebebasan Berekspresi
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kebebasan berekspresi belakangan ini menjadi sorotan dengan banyak akademisi dan aktivis yang dilaporkan dan menjalani proses hukum. Kondisi ini menjadi kekhawatiran atas melemahnya demokrasi di Indonesia dimana seharusnya mendorong kontrol publik atas kekuasaan.
Untuk mendiskusikan lebih mendalam fenomena ini, Center for Peace, Conflict & Democracy (CPCD) atau Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perdamaian, Konflik dan Demokrasi Unhas bekerjasama dengan Divisi Damai dan Adil, SDGs Center Universitas Hasanuddin dan The Indonesian Institute dalam menyelenggarakan Peace & Democracy Colloquium Seri 6 pada Jumat tanggal 26 November 2021 pukul 14:00-16:00 WITA. Tema Webinar di bulan November ini adalah "Merawat Demokrasi dengan Kebebasan Berekspresi".
Di Peace & Democracy Colloquium 6 hadir 3 narasumber, yakni Dr.Phil Sukri Tamma (Peneliti CPCD/Dep. Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin), Adinda Tenriangke Muchtar,PhD (Direktur Eksekutif The Indonesian Institute: Center for Public Policy Research) dan Dr.Robertus Robet (Dosen Dep. Ilmu Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta).
Diskusi ini dimoderatori oleh Andi Rahmat Hidayat, M.Si (Dosen Dep. Ilmu Administrasi dan Peneliti CPCD Universitas Hasanuddin). Dalam pengantarnya, Andi Rahmat Hidayat mengutarakan bahwa berbagai studi mengindikasikan Indonesia saat ini berada dalam kondisi ‘flawed democracy’ atau negara dengan iklim demokrasi yang lemah karena adanya rasa tidak aman warga dalam menyatakan pendapat.
Di saat yang sama, Indonesia akhir-akhir juga mendapatkan skor Indeks Transparansi Korupsi dari Transparancy International yang rendah dan memburuk.
Andi Rahmat menyatakan bahwa fenomena ini mengindikasikan semakin melemahnya iklim demokrasi di suatu negara, akan membuka peluang semakin tinggi tindakan koruptif pejabat negara.
Setelah membuka kegiatan secara resmi, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi dari para narasumber. Materi pertama disampaikan oleh Dr.Phil Sukri Tamma.
Ia memaparkan bahwa di balik demokrasi ada pengaruh dan dorongan antara dua elemen yaitu keinginan berekspresi rakyat seperti dikemukakan tokoh seperti John Locke dan Rousseau serta pentingnya standar atau pembatasan perilaku seperti dikemukakan filosof Thomas Hobbes.
Menurut, kalau tidak ada kebebasan ekspresi maka bukan demokrasi. Namun penerapan demokrasi dari sejak awal ada resikonya, dan kalau tidak dibatasi bisa menimbulkan sifat manusia Homo Hominus Lupus, atau pada dasarnya sisi jahatnya manusia. Maka harus ada penentuan pembatasan kebebasan ekspresi sesuai keinginan masyrakat untuk kebaikan bersama.
Berikutnya, Adinda Terinangke Muchtar,PhD memaparkan materinya tentang ‘Mempromosikan dan Melindungi Kebebasan Berekspresi di Indonesia’ berdasarkan hasil riset TII.
Ia menegaskan bahwa undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) sekarang tercantum banyak pasal yang multi-tafsir yang membuka peluang manipulasi untuk membungkam kritik-kritik warga dan intelektual terhadap pemerintah.
Ada berbagai masalah pada UU ITE dari aspek konten dan konteksnya, seperti fungsi Kementrian Informasi dan Komunikasi yang tidak jelas dan polisi yang kurang memiliki keahlian dalam menegakkannya.
Cara mengurainya harus ada berbagai kebijakan, termasuk menjelaskan perbedaan antara ekspresi dan pelanggaran hukum, penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice, dan program literasi digital yang inklusif melibatkan aparatur negara seperti polisi.
Adinda merekomendasikan fungsi hukum UU ITE sebaiknya dikembalikan ke tujuan awal untuk perlindungan hukum warga dalam dunia digital.
Ketentuan yang memuat unsur sanksi pidana dalam UU ITE sebaiknya diatur di UU KUHP. Selain itu, itu perlu adanya ketegasan antara ekspresi dan pelanggaran hukum.
Terakhir, Dr. Robertus Robet sebagai narasumber ketiga membahas bagaimana batas-batas freedom of expression dalam demokrasi. Ia mulai dengan menjelaskan bahwa konteks dan masalah-masalah yang dialami negara-negara demokrasi itu bisa bervariasi, seperti di AS dengan Presiden Trump di Twitter serta di Eropa dengan isu hate-speech.
Bagi Dr. Robertus, Indonesia sekarang lagi mengalami berbagai masalah berkaitan demokrasi seperti Indonesian Democratic Decline, Shrinking Civic Space, Authoritarian Pluralism dan Partial Democracy di antara hal-hal lain. Ia menjelaskan bahwa dalam demokrasi seringkali bisa muncul orang-orang yang beropini beda sama kita dan bahkan salah.
Namun membungkam orang lain hanya karena itu tetap tidak benar dan bisa menhilangkan martabatnya sebagai manusia. Apalagi kalau dibungkam dengan penggunaan kekuasaan dan hukum.
Caranya untuk melindungi freedom of expression tidak hanya bisa dengan hukum tapi dengan semangat toleransi demokratis. Mestinya dalam demokrasi, ekspresi dibalas dengan ekspresi, bukan dengan kekuasaan untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawan dengan pandangan berbeda.
Setelah materi dari ketiga narasumbernya, dibuka sesi tanya jawab. Webinar Peace & Democracy Colloquium 6 diikuti sekitar 45 orang yang terdiri atas dosen, mahasiswa, peneliti dan aktivis pro demokrasi di Sul-Sel dan daerah lain di Indonesia. Diskusi ini bisa dinonton kembali di Channel Youtube CPCD.
Webinar Peace & Democracy Colloquium ini dilakukan secara rutin setiap bulan oleh CPCD dan SDGs Center Universitas Hasanuddin sebagai media diskursus publik merespon berbagai permasalahan sosial dan politik di masyarakat dengan mengundang peneliti dan praktisi untuk menganalisisnya dalam kerangka ilmiah.