Ini 10 Pernyataan Eks Komisioner KPK terkait PKPU yang Dinilai Percepat Mantan Terpidana Korupsi Calonkan Diri
Font: Ukuran: - +
Reporter : Sammy
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan keberatannya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Dua PKPU tersebut dinilai mempercepat mantan terpidana korupsi untuk dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Hal ini dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
Dilansir dialeksis.com dari laman perludem.org, berikut rangkuman 10 mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dua PKPU tersebut.
Erry Riyana Hardjapamekas (Komisioner KPK 2003-2007):
PKPU 10 dan 11 Tahun 2023 bertentangan dengan 2 putusan Mahkamah Konstitusi. Masa jeda waktu bagi mantan terpidana sudah diputuskan 5 tahun. Demi kepatuhan pada aturan yang berlaku dan menjaga integritas Pemilu, KPU wajib merevisi PKPU 10/2013 dan PKPU 11/2023.
Haryono Umar (Komisioner KPK 2007-2011):
PKPU harus dibatalkan untuk menjaga Pemilu yang anti korupsi.
Moch Jasin (Komisioner KPK 2007-2011):
KPU seharusnya memastikan bahwa pelaksanaan pemilu mengakomodir calon-calon pejabat publik dengan rekam jejak yang baik yang dapat dipilih masyarakat, bukan justru membentuk regulasi yang memberi kemudahan bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri.
Mas Achmad Santosa (Komisioner KPK 2009):
Segala bentuk regulasi yang tidak berpihak pada komitmen untuk menghadirkan calon-calon pejabat publik yang berkualitas dalam pemilu harus ditentang. Termasuk dua PKPU yang mempermudah mantan terpidana korupsi mencalonkan diri kembali tanpa melewati masa jeda.
Busyro Muqoddas (Komisioner KPK 2010-2014):
Jika PKPU mengizinkan mantan koruptor untuk maju lagi di arena politik tanpa harus melewati masa jeda 5 tahun, maka harus dipertanyakan, PKPU ini sebenarnya dibuat untuk kepentingan rakyat atau justru untuk gerombolan politikus busuk yang ingin menjarah uang rakyat?
Bambang Widjojanto (Komisioner KPK 2011-2015):
Tindakan KPU mencoreng nama baik dan kehormatan lembaga KPU sendiri. Dengan demikian KPU harus mengubah PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 agar tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan asas-asas di dalam UU Pemilu.
Abraham Samad (Komisioner KPK 2011-2015):
Dalam PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 KPU diketahui menyelundupkan pasal yang membuka celah bagi mantan terpidana korupsi untuk maju dalam kontestasi pemilu legislatif tanpa melewati masa jeda waktu lima tahun sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi. Ini jelas pembangkangan atas putusan Mahkamah Konstitusi dan memperlihatkan KPU tidak memiliki semangat anti korupsi.
Adnan Pandu Praja (Komisioner KPK 2011-2015):
Tujuan pemidanaan koruptor adalah agar menimbulkan efek jera bagi masyarakat. Terbukanya peluang eks koruptor untuk mencalonkan diri kembali sebagai pejabat publik tanpa melewati masa jeda sangat mencederai semangat anti korupsi. Sebab, tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Laode M Syarif (Komisioner KPK 2015-2019):
Indonesia tidak kekurangan orang baik untuk menjadi anggota DPR/DPRD. Oleh karena itu, jika aturan KPU yang baru membolehkan mantan terpidana kasus korupsi bisa ikut pemilihan umum sebelum 5 tahun bebas, keberpihakan KPU pada pemberantasan korupsi patut dipertanyakan.
Saut Situmorang (Komisioner KPK 2015-2019):
Pengecualian ketentuan masa jeda bagi mantan napi korupsi yang diatur dalam PKPU 10/2023 dan PKPU 11/2023 tidak sejalan dengan semangat antikorupsi dan pembangunan demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai integritas. [sam]