Zuhri Syafriwan: Pemekaran ALA Sudah Melalui Kajian Ilmiah
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM| Takengon- Pemekaran provinsi Aceh kini kembali hangat diperdebatkan. Pernyataan Wali Nanggroe (WN) Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, mendapat tanggapan dari para pejuang pemekeran Provinsi ALA.
Wali Nanggroe (WN) ketika menyampaikan sambutan pada Rakerda Partai Aceh (PA) di Takengon, Minggu (28/03/2021) menyebutkan, orang-orang yang ingin memekarkan provinsi Aceh merupakan tindakan memecah belah yang bodoh, pernyatan ini mendapat tanggapan.
Pernyataan WN itu mendapat tanggapan dari Zuhri Syafriwan, salah seorang pemuda pemekaran Provinsi Aceh Lueser Antara. Menurut Zuhri dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, Senin (29/03/2021) menyebutkan, pemekaran ALA sudah melalui kajian ilmiah.
Menurut riwan tokoh pemuda pegiat ALA ini, menyebutkan niat membentuk daerah otonomi baru (DOB) Provinsi ALA sudah melalui kajian ilmiah. Pada tahun 2003 oleh Lembaga Center of Regional Autonomy and Studies (CRAIS) menggambarkan bahwa ada 7 kriteria yg harus terpenuhi untuk pemekaran satu daerah.
“Ketujuh kriteria tersebut antara lain kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas daerah, jumlah penduduk, politik dan sosial budaya,” sebut Zuhri.
Landasan hukumnya UU No. 22 Tahun 1999 ( direvisi menjadi UU No. 32/ 2004) tentang pemerintah daerah dan di dalam UU tersebut pada BAB III Pasal 3 menjelaskan syarat pembentukan daerah harus memenuhi 7 kriteria, 19 Indikator dan 43 sub indikator.
Zuhri menjelaskan, lebih spesifik UU tersebut dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000, yakni merincikan tentang pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
Dalam PP tersebut menjelaskan bahwa pemekaran daerah harus memenuhi syarat yang telah di tentukan, salah satu mengatur persoalan skor ambang batas kelayakan. Yakni ambang batas untuk membentuk suatu daerah harus mencapai skor minimal 2.280.
“Kalau kita lihat Aceh sebagai provinsi induk memiliki skor 2.380, sedangkan calon provinsi ALA memiliki skor 2.355. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa Aceh sebagai provinsi induk dan calon provinsi ALA sama-sama sudah melampui ambang batas yang sudah diamanatkan dalam peraturan tersebut,” jelasnya.
Maka berdasarkan UU dan PP, pemerintah pusat sudah selayaknya membentuk Provinsi ALA. Lagi pula Aceh ini terlalu luas. Coba bayangkan Aceh 23 kab/ kota dipimpin oleh satu orang gubernur, tentu sangat tidak masuk akal.
“Aceh sudah selayaknya dipimpin oleh 2 Gubernur. Sebenarnya pemekaran Provinsi ALA, merupakan solusi untuk percepatan pembangunan di wilayah tengah Aceh, dan pemekaran ini juga hanya memisahkan diri secara administratif dengan pemerintah Aceh,” sebut Zuhri.
“Tidak dapat kita pungkiri, Aceh dahulunya termasuk salah satu daerah tertinggal, dibanding daerah lainnya di Indonesia. Tetapi dengan didorong oleh semangat dan keinginan yang luhur dari rakyat Aceh, sehingga pemerintah pusat mengesahkan UU RI No 24 tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh menggantikan UU No. 5 Tahun 1950 bahwa Aceh merupakan bahagian dari Provinsi Sumatera Utara,” sebutnya.
“Kondisional Aceh harus dibelah dua. Untuk itu kami meminta kepada elite lit politik Aceh jangan halangi wacana pembentukan provinsi ALA. Fakta saat ini kondisional Aceh memang harus dibelah dua,” ungkapnya.
Sebelumnya Wali Nanggroe (WN) Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar dalam Rakerda PA di Takengon mengatakan, Provinsi Aceh tidak boleh terpecah atau dimekarkan. Upaya pemekaran provinsi Aceh merupakan tindakan memecah belah yang bodoh.
"Tindakan tersebut bodoh sekali sebab tidak mengerti sejarah tanoh Aceh. Jika Aceh dikerdilkan maka bisa dengan mudah Aceh akan dapat dipecah belah. Jika pemekaran terjadi, maka harta kita yaitu sumber daya alam di Aceh seperti emas, hutan dan lain-lain akan diambil oleh pihak lain yang berkepentingan,"sebut Malik Mahmud.
Malik Mahmud menyebutkan, terbukti didalam sejarah, bahwa Aceh sejak dahulu sudah bersatu untuk melawan Portugis. Bahkan Portugis tidak bisa menjajah Aceh ketika daerah lain sudah terjajah. Kemudian dirinya juga menyebutkan kalau Sultan pertama di Aceh berasal dari wilayah Gayo,” jelas WN.
"Dalam sejarah Aceh yang dahulunya banyak raja-raja kecil, kemudian Sultan pertama di Aceh yang berasal dari wilayah Gayo berhasil menyatukan Aceh menjadi Aceh Darussalam ketika itu," kata Malik Mahmud. (baga)