Minggu, 07 September 2025
Beranda / Celoteh Warga / Dalam Sunyi, Illiza Menangis untuk Kota Ini

Dalam Sunyi, Illiza Menangis untuk Kota Ini

Minggu, 20 Juli 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia Indriasari

Ratnalia Indriasari Warga Lampulo Banda Aceh. Foto: Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Celoteh Warga - Takdir adalah sebuah irama yang tak pernah bisa ditebak. Ia datang tanpa aba-aba, mengalun tenang atau bergemuruh sesuka waktu. Begitulah kiranya jalan hidup Illiza Sa’aduddin Djamal. Sosok perempuan Aceh yang jejak langkahnya tertoreh dalam sejarah politik dan pengabdian publik. Sejak muda, ia sudah menapaki jalan yang tak mudah dari anggota DPRK, menjadi Walikota Banda Aceh, hingga sempat duduk di Senayan sebagai anggota DPR RI. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar jabatan, yakni panggilan jiwa berbuat untuk orang banyak.

Illiza kembali ke Banda Aceh bukan untuk sekadar memegang kekuasaan, melainkan untuk melayani. Itulah yang tak banyak orang tahu. Ada sisi yang tersembunyi dari dirinya, yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang dekat dan sahabat seperjuangan. Dalam sunyi, di balik meja dan ruang kerja, Illiza kerap menangis. Bukan karena lelah, tapi karena rasa bersalah jika ada satu saja warga yang tidak terlayani dengan baik. Ia merasa gagal jika belum sepenuhnya bisa menghadirkan kebaikan untuk kota yang ia cintai. Itulah luka batin seorang pemimpin yang menjadikan pengabdian sebagai napas hidupnya.

Banyak kisah yang tak terucap, tentang bagaimana ia rela merogoh kocek pribadinya untuk menambal kekurangan layanan publik. Baginya, tidak penting dari mana dana itu berasal, asalkan masyarakat merasakan manfaat. Ia hanya ingin menjadi sosok yang berguna. Bukan untuk pencitraan, tapi untuk mewujudkan janji pada dirinya sendiri, bahwa seorang pemimpin harus hadir sebagai pelayan.

Ketika sebagian orang mengatakan bahwa hanya Illiza yang bisa mengembalikan Banda Aceh ke jalur yang benar, mereka tidak sedang membanggakan semata. Mereka sedang menerjemahkan takdir. “Ini adalah cara Allah menunjukkan bahwa Banda Aceh masih punya harapan,” kata seorang tokoh masyarakat yang pernah bersamanya saat masa - masa krisis bercerita kepada Dialeksis.

Namun takdir tak pernah hadir tanpa ujian. Langkah Illiza tak pernah benar-benar bebas. Sejak kembali dipercaya memimpin, ia harus berhadapan dengan warisan rezim lama yang masih membayangi dan mencengkeram. Kontrak jangka panjang yang mengikat, birokrasi yang sudah dikunci orang-orang lama, dan strategi-strategi tak terlihat yang terus menyandera ruang geraknya. Banda Aceh, di balik wajah indahnya, menyimpan beban yang tak semua orang bisa pahami.

Dalam kondisi seperti itu, Illiza tak memilih diam. Ia tetap menjalankan kepemimpinan dan terus melakukan evaluasi serta penataan agar tata kelola pemerintah terus membaik. Ia mulai menyelesaikan utang yang semakin sedikit, mencari jalan keluar dari defisit anggaran, hingga mencari cara agar harapan masyarakat bisa kembali menyala, agar dirinya mampu lepas dari bayang-bayang rezim lama yang masih mengakar di Pemko Banda Aceh.

Satu hal yang juga menjadi perhatian serius baginya adalah wajah sosial keislaman Banda Aceh yang perlahan memudar. Kota yang dulunya menjadi simbol penerapan syariat Islam kini menghadapi tantangan besar. Pelanggaran nilai-nilai syariat semakin marak di ruang publik”dari praktik khalwat, perjudian tersembunyi, hingga konsumsi narkoba yang mulai menembus sendi-sendi masyarakat. Illiza tidak menutup mata. Ia tahu, perjuangan ini tidak bisa ditunda.

Itulah sebabnya, ketika sebagian orang mencibir program kamera pengawas (CCTV) yang ia canangkan, mereka lupa bahwa langkah itu bukan semata demi keamanan. Ada niat lain yang lebih dalam: menjaga ruang publik Banda Aceh dari pelanggaran syariat Islam. Baginya, pengawasan visual adalah bentuk ikhtiar untuk menjaga marwah kota ini sebagai Serambi Mekkah. 

Ia sadar, penegakan nilai-nilai Islam hari ini bukan hanya menghadapi tantangan dari luar, tetapi juga perlawanan dari dalam dari sebagian masyarakat sendiri yang mulai abai terhadap jati diri Aceh. Bahkan menjadi luar biasa ketika Illiza sangat menginginkan kritikan konstruktif yang membawa perubahan bagi Banda Aceh. 

Menariknya, Illiza dikenal sangat cepat merespons keluhan warganya. Misalnya, saat ada tumpukan sampah yang tak kunjung diangkut atau kondisi jalan yang rusak. Sosoknya menjadi tumpuan harapan masyarakat setiap kali persoalan - persoalan seperti itu muncul dan dirasakan langsung oleh warga.

Menerapkan syariat dalam kehidupan kota bukanlah perkara mudah. Di satu sisi, ada regulasi. Di sisi lain, ada resistensi yang lahir dari budaya populer dan derasnya arus digital. Illiza memahami ini sebagai tantangan zaman. Tapi ia tidak ingin menyerah. Sebab menurutnya, jika pemimpin berhenti berjuang menjaga nilai, maka hilanglah ruh dari kepemimpinan itu sendiri.

Dari cerita lingkaran dalamnya, diketahui bahwa Illiza tengah memikul beban luar biasa. Tak hanya soal utang dan defisit anggaran yang mengancam kebangkrutan Pemko, tetapi juga tugas berat mengembalikan kepercayaan publik yang telah runtuh. Itulah misi sunyi yang ia emban. Ia tahu, kepercayaan adalah pondasi utama untuk membangun peradaban. Tanpa itu, program sehebat apa pun akan gagal.

Kondisi Kota Banda Aceh saat ini jauh dari ideal. Berbagai sektor seolah kehilangan arah. Tapi dalam keheningan, dalam doa - doa panjang yang ia panjatkan, Illiza percaya di lubuk hati terdalamnya bahwa Allah mengembalikannya ke kursi kepemimpinan bukan tanpa alasan. Ada maksud, ada pesan ilahi yang harus ditunaikan. Mungkin hanya Illiza yang bisa, seperti tafsir para orang dekatnya.

Mereka yang mengenal hatinya mengatakan bahwa Banda Aceh sedang diberi kesempatan untuk disembuhkan. Diberi pemimpin yang tak hanya mengerti data dan angka, tapi juga menangis bersama rakyatnya. Diberi perempuan yang sanggup berdiri di tengah badai, dan tetap menggenggam harapan.

Kini, harapan itu tak bisa dipikul sendiri. Illiza membutuhkan tangan-tangan yang bersedia bekerja bersamanya. Ia butuh rakyat yang tak hanya menonton dari jauh, tetapi hadir, ikut serta, dan membantunya menjadikan Banda Aceh bangkit. Karena kota ini bukan milik satu orang. Kota ini milik kita semua.

Mari kita renungkan, mungkin ini saatnya kita berhenti mencaci dan mulai mendukung. Mungkin ini waktu terbaik untuk menanggalkan ego politik dan merajut kembali kepercayaan sebagai masyarakat. Sebab, perubahan tidak lahir dari kritik semata, melainkan dari aksi nyata yang dilakukan bersama.

Kepemimpinan Illiza bukanlah soal jabatan, melainkan soal panggilan. Dan panggilan itu kini sedang menjawab luka-luka Banda Aceh yang tertunda. Kita hanya perlu ikut melangkah, agar langkah itu tak terhenti. Kita hanya perlu ikut percaya, bahwa perempuan ini sedang berjuang bukan untuk dirinya, tapi untuk kita semua.

Mari bersatu, bersama Illiza, memulihkan Banda Aceh. Dari air mata yang jatuh di malam hari, dari doa yang lirih dalam sujudnya, dari keikhlasan yang ia tanam dalam kerja, dan dari pengabdian yang tulus tanpa pamrih, kita tahu: Banda Aceh masih punya harapan.

Penulis: Ratnalia Indriasari, Warga Lampulo, Banda Aceh

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
damai -esdm
bpka