DIALEKSIS.COM | Dialektika - Di sudut pedalaman Aceh, jalan berlumpur masih menghubungkan desa-desa yang jauh dari layak. Sekolah dan klinik berdinding papan berjajar di tengah keterbatasan fasilitas. Pemandangan ini kontras dengan angka-angka fantastis di buku anggaran Pemerintah Aceh.
Menurut data Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), sejak tahun 2008 hingga tahun 2025, Aceh telah menerima kucuran Dana Otonomi Khusus (Otsus) mencapai ± Rp 108,6 Triliun. Dana tersebut merupakan bagian dari kompensasi perdamaian pasca konflik Helsinki.
Rinciannya sebagai berikut. Masa pemerintahan Irwandi-Nazar (2007-2012) Aceh mendapat Rp 21,13 T, pemerintahan ZIKIR (2012-2017) Rp 35,76 T, masa pemerintahan Nova Iriansyah (2017-2022) Rp 40,12 T, dan periode pemerintahan Muzakir Manaf atau Mualem yang sedang berjalan (2023-2025) Rp 11,6 T. Data ini Dialeksis peroleh melalui Rekap dari Dokumen Nota APBN setiap tahunnya.
Ironisnya, meski uang damai itu melimpah, Aceh masih menyandang predikat provinsi termiskin di Sumatra dengan tingkat kemiskinan sekitar 14% jauh di atas rata-rata nasional. Triliunan rupiah yang seharusnya menjadi motor pembangunan justru mengendap di kas daerah pada akhir tahun sebagai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA).
Fenomena SILPA di Aceh bukan lagi rahasia. Pada tahun anggaran 2020, misalnya, realisasi belanja Pemerintah Aceh hanya mencapai 76,8% dari total APBA Rp15,8 triliun; artinya 23,2% anggaran sekitar Rp3,6 triliun tidak terpakai dan menjadi SILPA. Kondisi serupa berulang tahun berikutnya.
Munzami, Direktur Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), mencermati bahwa di tengah euforia program bantuan sosial, publik seolah lupa bahwa Aceh mengelola anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp2,3 triliun pada 2020.
“Perlu kita tanyakan bersama ke mana dan untuk siapa saja dana tersebut dibelanjakan oleh Pemerintah Aceh di tahun 2020?” kritik Munzami retoris kepada Dialeksis saat berkomentar. Hingga tutup buku 2020, sejumlah besar dana itu justru tersisa tak terserap.
Munzami menekankan pentingnya transparansi. Masyarakat Aceh berhak tahu kenapa sisa anggaran begitu besar. Ia menyayangkan bahwa alih - alih memanfaatkan dana untuk rakyat, misalnya cukup Rp200 - 250 miliar saja untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat Pemerintah Aceh justru membiarkan lebih dari Rp3 triliun uang rakyat menganggur di kas daerah.
Triliunan rupiah yang “mengendap” ini bukan sekadar angka di atas kertas. Setiap rupiah yang tak dibelanjakan berarti peluang yang hilang untuk membangun jalan, jembatan, sekolah, puskesmas, dan program pemberdayaan ekonomi.
Padahal, Dana Otsus sejak awal dirancang sebagai fondasi perdamaian dan sebuah ikhtiar agar berkah perdamaian dapat dirasakan hingga ke pelosok Aceh melalui percepatan pembangunan ekonomi dan sosial.
Kenyataannya, setelah lebih dari satu dekade Otsus, banyak target pembangunan Aceh belum tercapai optimal. Angka kemiskinan memang menurun dibanding masa konflik, namun Aceh masih bertengger di posisi teratas kemiskinan regional. Pengangguran terbuka tetap tinggi, infrastruktur dasar masih tertinggal.
“Dana Otsus seharusnya menjadi instrumen menciptakan nilai tambah jangka panjang, bukan sekadar habis untuk belanja rutin atau proyek jangka pendek. Di sinilah letak kelemahan tata kelola kita,” ujar Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si., pakar anggaran dari Universitas Syiah Kuala saat di wawancara Dialeksis, Jumat, 22 Agustus 2025.
Lemahnya Perencanaan dan Serapan Anggaran
Mengapa SILPA Aceh begitu tinggi dari tahun ke tahun? Syukriy Abdullah mengungkapkan bahwa masalah ini tidak bisa dilihat hitam putih semata hanya karena kombinasi faktor teknis dan kelembagaan.
Ia menyebut mekanisme transfer pusat dan kapasitas pemerintah Aceh sebagai dua elemen kunci. Dari sisi pusat, sering terjadi keterlambatan transfer Otsus di awal tahun anggaran.
“Seringkali terjadi keterlambatan transfer dari pemerintah pusat ke kas daerah, terutama di awal tahun. Keterlambatan ini tentu berdampak pada eksekusi program di lapangan,” jelas Syukriy.
“Jika dana terlambat cair, program-program baru bisa dimulai terlambat pula memendekkan waktu pelaksanaan dan berpotensi menyisakan anggaran di akhir tahun,” jelasnya lebih lanjut.
Namun Syukriy menegaskan tak semua persoalan bisa ditimpakan ke pusat. Banyak kendala justru bersumber dari internal Aceh sendiri, seperti perencanaan yang lemah dan birokrasi yang kedodoran dalam merealisasikan anggaran.
“SILPA juga terjadi karena lemahnya perencanaan dan keterbatasan kapasitas birokrasi kita dalam merealisasikan anggaran sesuai jadwal. Ada program yang sudah dirancang, tapi proses tender, administrasi, hingga pengawasan berjalan lamban. Akhirnya anggaran yang sudah tersedia tidak habis dipakai,” paparnya secara gamblang.
Pernyataan Syukriy sejalan dengan temuan di lapangan. Awal tahun anggaran kerap diwarnai realisasi belanja yang seret karena keterlambatan lelang proyek. Data Pemerintah Aceh menunjukkan, pada triwulan I 2022 misalnya, realisasi keuangan APBA baru 9,8% dari target 15%.
Ratusan paket proyek belum ditenderkan tepat waktu karena dokumen dari dinas terlambat diserahkan ke Unit Layanan Pengadaan (ULP). Pola serupa terulang hampir tiap tahun: tahun berjalan sudah mendekati semester kedua, namun banyak program belum berjalan karena urusan administrasi dan tender yang molor.
Akibatnya, menjelang akhir tahun satu per satu proyek dikebut, atau lebih parah batal dilaksanakan dan anggarannya mengendap menjadi SILPA.
Munzami pernah menyoroti contoh mencolok lemahnya penyerapan anggaran ini. Menurutnya, hingga akhir 2020 Aceh hanya mampu menyerap 76,8% dari APBA, menyisakan SILPA sekitar Rp3,6 triliun. Padahal di tahun itu Aceh menghadapi pandemi dan resesi, di mana dana sebesar itu sangat dibutuhkan masyarakat.
“Masyarakat harus diberikan penjelasan mengapa realisasi keuangan kita rendah. Kenapa uang sebesar itu tidak terserap untuk hal-hal yang urgent?” desaknya.
Kritik tajam Munzami menyatakan jangankan pembangunan baru, anggaran darurat Covid-19 pun tak dioptimalkan sepenuhnya. Jika dalam situasi krisis pun dana menganggur sedemikian besar, apa kabar program pembangunan rutin lainnya?
Kelemahan perencanaan tampak sejak tahap awal: penganggaran sering tidak berbasis data dan realitas lapangan. Tak jarang program disusun ambisius tanpa memperhitungkan kapasitas pelaksanaan. Akibatnya, target tinggi tak tercapai dan menyisakan SILPA.
Syukriy Abdullah menilai dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dan Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) belum sepenuhnya menjadi pedoman konkret. Padahal, jika setiap rupiah Dana Otsus direncanakan berbasis kebutuhan riil dan dieksekusi sesuai rencana, mustahil menyisakan SILPA besar tiap tahun. Setiap program yang didanai Otsus seharusnya punya indikator kinerja yang jelas sehingga mudah dievaluasi.
Tanpa itu, lanjut Syukriy, dana jumbo hanya menghasilkan output minimal. “Jika tidak ada perbaikan sistem, maka setiap tahun kita hanya akan mengulang masalah yang sama: dana Otsus besar, tapi serapannya rendah,” ujarnya mengingatkan.
Birokrasi Lamban dan Intervensi Politik
Terkait hal itu, Fauza Andriyadi peneliti Jaringan Survei Inisiatif menyampaikan selain persoalan teknis, faktor birokrasi dan politik lokal turut berkontribusi pada rendahnya serapan anggaran. Struktur birokrasi Aceh pasca damai memang masih berbenah dari warisan konflik dan budaya patronase yang kental.
“Kapasitas SDM aparatur di tingkat SKPA (dinas) tidak merata; ada dinas yang gesit, tapi tak sedikit yang masih lamban dan kurang inovatif. Disiplin anggaran juga jadi tantangan kebiasaan “kejar tayang” di akhir tahun seolah menjadi budaya, menggambarkan perencanaan yang tak matang sejak awal,” ungkapnya.
Lebih rumit lagi disampaikan Fauza, intervensi politik kerap memperlambat proses administrasi. Syukriy Abdullah menyoroti campur tangan pihak legislatif dalam bentuk aspirasi proyek pokok pikiran dewan (Pokir). Menurutnya, demi kelancaran eksekusi anggaran, intervensi politisi harus dikurangi, terutama dalam penentuan proyek.
“POKIR harus dikurangi, sehingga proses lelang dilaksanakan sesuai prioritas pembangunan dan kemampuan keuangan. Kepala SKPA harus profesional mengikuti regulasi, tidak mengikuti tekanan politisi atau kelompok kepentingan lain yang tidak punya kewenangan langsung dalam pengelolaan anggaran,” tegas fauza.
Implikasi katanya dari intervensi politik ini jelas, waktu habis untuk lobi dan negosiasi, bukan eksekusi. Proses tender bisa tertunda karena tarik-menarik kepentingan proyek titipan, ujungnya waktu efektif pelaksanaan proyek makin sempit.
Sebuah contoh nyata terungkap di awal 2024. Muhammad MTA, Juru Bicara Pemerintah Aceh, membeberkan bahwa Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) pernah sengaja melebihkan estimasi SILPA 2023 sekitar Rp400 miliar dalam penyusunan APBA 2024. Tujuannya? Untuk memberi ruang memasukkan program-program baru titipan pokir dari oknum anggota DPRA.
Langkah akal-akalan ini berbuah pahit APBA 2024 menjadi defisit terbuka sehingga harus dilakukan rasionalisasi dan pemangkasan program prioritas demi menutup bolong anggaran[19]. Ketika Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi, Aceh diminta menyeimbangkan kembali pos pendapatan-belanja tanpa trik SILPA semu.
Namun langkah koreksi ini ditentang sebagian legislatif yang tak rela pokirnya dipangkas. Alhasil, agenda wajib sejumlah SKPA malah terancam dikorbankan.
“Penambahan hitungan silpa yang disengaja terhadap realisasi APBA 2023 telah merusak tatanan teknokratik APBA 2024,” kritik Muhammad MTA, seraya mengingatkan semua pihak agar taat pada asas pemerintahan yang baik demi kepentingan rakyat.
Kasus ini menggambarkan bagaimana politik anggaran kotor dapat mengacaukan perencanaan, memperlambat penyerapan, dan pada gilirannya merugikan masyarakat luas. Alih-alih fokus menjalankan program yang telah direncanakan, energi pemerintah terkuras untuk membereskan kekacauan akibat deal-deal di luar perencanaan resmi.
Di Ujung Tanduk
SILPA yang berulang saban tahun bukan sekadar persoalan administrasi, namun bom waktu bagi keberlanjutan pembangunan Aceh, bahkan potensi mengusik stabilitas perdamaian jangka panjang. Mengapa demikian?
Pertama, Aceh menghadapi tenggat berakhirnya dana Otsus. Sesuai UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, jatah Dana Otsus akan berlangsung hingga 2027 saja, dengan porsi yang menurun mulai 2023. Tahun 2022 Aceh masih menerima sekitar Rp7,56 triliun, namun tahun 2023 tinggal Rp3,9 triliun hanya setengahnya. Tahun 2024 jumlahnya menyusut lagi sekitar Rp3,3 triliun. Artinya, “kran emas” Otsus kian lama kian mengecil sebelum ditutup sama sekali.
Bagi Aceh yang telah satu setengah dekade terakhir sangat bergantung pada dana ini rata - rata Rp6 - 7 triliun per tahun), tantangannya ibarat terjun payung tanpa parasut jika tidak ada strategi keluar (exit strategy) yang jelas.
Syukriy mengingatkan, tanpa pembenahan tata kelola, Aceh bisa tergelincir ke jurang “kebangkrutan” begitu aliran dana Otsus terhenti. Banyak program vital mungkin mandek karena APBA mendadak susut drastis.
“Pertanyaan pentingnya bukan hanya kenapa SILPA terjadi, tapi juga apakah kita sudah menyiapkan Aceh untuk hidup tanpa dana Otsus,” ujarnya seraya menutup wawancara.
Pertanyaan itu menohok jantung persoalan: apakah fondasi ekonomi Aceh sudah cukup kuat berdiri sendiri? Jika miliaran rupiah saja tak mampu dibelanjakan optimal saat dana melimpah, bagaimana nanti ketika dana terbatas?
Kedua, SILPA kronis mencerminkan gagalnya pemerintah memenuhi harapan perdamaian. Dana Otsus adalah buah manis perjanjian damai; ia hadir untuk memenangkan hati rakyat Aceh agar percaya bahwa damai membawa sejahtera. Namun bila dana tersebut tak dikelola baik, masyarakat bisa frustasi merasa damai tak membawa perubahan nyata.
Syukriy Abdullah menyebut Dana Otsus sebagai kompensasi pasca konflik yang idealnya menjadi motor pembangunan Aceh. Ketika motor ini batuk-batuk dan berjalan terseok, muncul risiko kehilangan kepercayaan. Masyarakat yang kecewa karena kemiskinan dan pengangguran bertahun-tahun tak tertangani, bisa mempertanyakan efektivitas pemerintah pasca damai.
Lebih mengkhawatirkan lagi, generasi muda Aceh yang tak merasakan langsung nikmatnya dividen perdamaian rentan putus asa dan apatis. Bayang-bayang ini berpotensi mengganggu stabilitas sosial-politik Aceh dalam jangka panjang.
Memang, tidak serta-merta konflik akan berulang, namun ketimpangan antara ekspektasi vs realita bisa menjadi lahan subur bagi munculnya bibit - bibit radikalisme atau gerakan protes baru.
Pemerintah Aceh bukannya tak menyadari bahaya ini. Upaya pembenahan mulai digeber, terutama menjelang masa akhir Otsus. M. Nasir, yang kala itu masih berstatus Plt. Sekda Aceh, dalam Rapat Pimpinan 23 Juni 2025, menargetkan realisasi APBA 2025 minimal 35% tercapai di akhir semester pertama upaya ambisius agar tidak ada anggaran menumpuk di akhir tahun.
“Kita sudah bersepakat seluruh proses lelang harus selesai paling lambat 30 Juni 2025. Ini butuh komitmen bersama agar realisasi anggaran bisa 35,5% di akhir bulan,” tegas Nasir.
Ia juga mengingatkan jajarannya agar mengantisipasi potensi sisa dana Otsus akibat lambatnya penyerapan di semester pertama gejala yang rutin terjadi.
“Jika tidak dikelola dengan baik, sisa dana bisa jadi masalah di akhir tahun,” ujarnya, menggarisbawahi tekad mengikis SILPA sedini mungkin.
Di forum yang sama, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) mengeluarkan instruksi keras: setiap hambatan pelaksanaan program harus segera diidentifikasi dan diselesaikan.
“Kalau ada kegiatan yang belum berjalan, segera laporkan ke Sekda. Saya ingin tahu langsung apa masalahnya dan kita cari solusinya bersama,” kata Mualem, menuntut tindakan nyata, bukan sekadar rapat tanpa hasil.
Ia menekankan pentingnya komunikasi lintas SKPA untuk mengejar target belanja, terutama penggunaan Dana Otsus yang tersisa beberapa tahun ini.
Wakil Gubernur Fadhlullah menambahkan, koordinasi antara dinas dan ULP harus proaktif. ULP tidak boleh pasif menunggu dokumen, tetapi aktif membantu percepatan proses tender.
Langkah - langkah ini menggambarkan kesadaran Pemerintah Aceh bahwa waktu kian singkat; mereka berpacu membelanjakan dana yang ada sebelum peluang hilang selamanya.
Refleksi: Demi Aceh yang Lebih Baik
Perjalanan Aceh pasca konflik ibarat dialektika antara harapan dan tantangan nyata. Dana Otsus hadir sebagai tesis janji memutar roda pembangunan lebih kencang. Namun SILPA kronis menjadi antitesis kenyataan bahwa uang saja tak cukup tanpa tata kelola mumpuni. Kini Aceh membutuhkan sintesis berupa perbaikan menyeluruh good governance yang berpihak pada rakyat.
Syukriy Abdullah telah menawarkan solusi konkrit: perencanaan yang realistis dan berbasis data, percepatan birokrasi terutama dalam proses tender dengan meminimalkan intervensi politik, serta evaluasi ketat setiap rupiah dana Otsus.
Intinya, Aceh harus memperlakukan dana Otsus yang tersisa sebagai amanah terakhir untuk meloncat keluar dari ketertinggalan, bukan sebagai anggaran rutin yang bisa dihambur atau dianggurkan.
Bagi Munzami dan para pemerhati kebijakan publik Aceh, pertaruhan ini bukan main-main. Jika reformasi pengelolaan anggaran gagal dilakukan sekarang, Aceh terancam menghadapi badai sempurna: pembangunan mandek saat aliran dana kering, ekonomi terpental mundur, dan ketidakpuasan sosial mengemuka.
“Kalau tidak (berubah), maka berdampak lebih buruk lagi terhadap kesejahteraan rakyat Aceh di masa depan,” ujar Munzami memperingatkan sejak jauh hari.
Tiga tahun jelang 2027, hitungan mundur terus bergulir. Dana Otsus, hadiah perdamaian itu akan segera usai. Generasi Aceh berikutnya menunggu jawab: apakah para pemimpin hari ini mampu memanfaatkan tahun-tahun terakhir ini dengan bijak untuk menyiapkan landasan kokoh, atau akankah mereka menyia-nyiakan kesempatan hingga rakyat Aceh kembali menagih janji yang belum terpenuhi Jawabannya terpulang pada aksi nyata sekarang..
Yang pasti, setiap rupiah Otsus yang tersisa adalah titipan masa depan Aceh tak boleh lagi ada yang mengendap sia-sia. Jika perdamaian Aceh ingin berumur panjang, maka kesejahteraan harus jadi nyata, dan itu dimulai dari anggaran yang pro-rakyat, tepat guna, dan tepat waktu.[arn]