kip lhok
Beranda / Dialog / Bincang-bincang Eksklusif Bersama Ahli Akuntansi: APBA Lebih Baik Diqanunkan

Bincang-bincang Eksklusif Bersama Ahli Akuntansi: APBA Lebih Baik Diqanunkan

Jum`at, 28 Juli 2023 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Ahli akuntansi nasional, Dr. Syukriy Abdullah, SE, MSi [Foto: Dialeksis]


Lalu, kaitan dengan keberadaan dualisme kebijakan antara Pergub dan Qanun berarti posisi Pokir itu tidak ada lagi ya? 

Pokir dalam Pergub itu bisa saja ada atau tidak, tergantung bagaimana hubungan Pemda dan Dewan. Tetapi secara formal tidak muncul adanya pengusulan Pokir dengan mekanisme yang prosedural. 

Di sisi lain, contoh seperti di Jogja ada dibuat mekanisme Pokir jadi nanti Sekwan yang mengusulkan ke Bappeda dan Tim anggaran pemerintah daerah untuk dimasukan ke APBD. 

Jadi lebih baik mana APBA Aceh, menggunakan basis Pergub atau Qanun? 

Menurut saya, APBA tetap diqanun lebih baik karena itu sesuai dengan prosedur yang baku dalam peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan. 

Karena Qanun APBD itu merupakan jaminan bahwa sudah sesuai dengan Pergub tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) dan qanun ini akan dievaluasi oleh Kemendagri. 

Kalau Pergub distorsinya jauh karena bisa saja yang dianggap penting oleh masyarakat yang disampaikan ke DPRA itu tidak terakomodir dengan Pergub karena Pergub akan mengakomodir semua kemauan Gubernur dan SKPA. 

Lantas, ketika dihadapi pada muatan tarikan saling tidak kondusif dalam komunikasi politik maka posisi yang ideal itu tetap dengan Qanun atau Pergub?

APBD itu produk politik walaupun proses penyusunannya ada teknokratik, botton up, top down pada akhirnya keputusan yang dihasilkan adalah keputusan politik. 

Nah, keputusan politik untuk qanun APBD itu sudah ada landasannya diatas yakni RKPA. Apa yang direncanakan itulah yang dianggarkan. 

Jadi tetap saja anggaran itu keputusan politik.

Bagaimana kalau terjadi konflik atau ada perbedaan pandangan antara eksekutif dan legislatif? 

Ini merupakan kompromi dua lembaga. Secara teori, eksekutif itu tidak ideal menjalankan semua kepentingan publik sendiri karena selalu ada konflik kepentingan didalamnya. 

Korupsi itu terjadi karena mementingkan diri sendiri dan korupsi terjadi ketika seseorang punya jabatan yang bisa mengeksekusi anggaran belanja. 

Oleh karena itu, eksekutif itu diawasi oleh legislatif, kalau pengawasan tidak ada maka kemungkinan akan lepas kendali, akan melakukan sesuka hatinya. 

Apa pesan bijak kepada eksekutif dan legislatif agar menemukan titik kompromi dalam komunikasi politik, agar APBA itu tetap diqanunkan?

APBA merupakan alat untuk mencapai visi dan misi, visi itu bersifat jangka panjang dan harus ditempuh dengan berbagai cara dengan dokumen perencanaan anggaran selama beberapa tahun. 

Artinya konflik yang terjadi itu seharusnya tidak perlu kemana-mana tetap saja berpedoman pada RPJM dulu. RPJM memang menjadi pedoman bagi kepala daerah untuk mencapai visi dan misinya. 

Kepala daerah pemegang kekuasaan keuangan daerah, jadi secara kedudukan sebagai kepala daerahlah yang mengeksekusi anggaran. 

Untuk itu, DPRA sebenarnya tidak juga perlu berkonflik karena semua berpedoman kepada RPJM yang memang punyanya eksekutif yang disetujui oleh dewan ketika dulu membahas Qanun RPJM. 

Sepanjang APBD sesuai dengan target RPJM, dewan tidak perlu menolak itu. Persoalan jika itu pertentangan dengan RPJM atau RKPD seharusnya Kemendagri menjadi penengah. 

Jadi, kalau di RPJM tidak ada makanya buang saja, tetapi mungkin Kemendagri tidak punya waktu dan kemampuan untuk secara detail menganalisis. Makanya perlu dipahami konflik kepentingan yang terjadi mungkin lebih banyak karena kepentingan pribadi/kelompok/golongan atau bersifat teknis.(nor)

Halaman: 1 2
Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda